Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2019

Pindah Agama, Patah Hatiku Tetap Sama

Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi, tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari” Pengkotbah 1:9 Ayat tersebut sebagai penggambaran awal bahwa tulisan ini dibuat sebagai hal yang pernah ada dan dibicarakan. Tema yang bagi sebagaian orang telah usang untuk dibicarakan. Di tengah tuntutan bertahan hidup dalam mode produksi dan akumulasi primitif. Overproduksi yang dinanti-nanti tak kunjung hadir sebagai juru selamat kelas pekerja. Hingga milliaran kelas pekerja memilih terbuai dalam dogma. Karena hakikat bekerja bukan lagi perwujudan eksistensi manusia, melainkan hanya insting untuk bertahan hidup semata uang. Sebagai orang yang tumbuh dalam keluarga dengan berbedaan keyakinan selama puluhan tahun. Perdebatan tentang agama dan Tuhan merupakan makanan sehari-hari. Agama menjadi alat politik bagi kami untuk saling mengintimidasi atas nama surga dan neraka. Tuhan menjadi alat untuk meyakinkan  kami bahwa semua akan baik-baik saja, sekalipu...

Kita Hanya Gamang Menghadapi Dunia, Bukan Berarti Pilihanmu adalah Kehendak Bebas

Di dalam Alkitab pada hari 1-6 penciptaan Allah mengatakan semuanya baik, setelahnya Manusia diciptakan dan dikatakan, “sungguh amat baik”. Mungkin saat itu Allah telah tahu bahwa manusia akan membuat dunia yang diciptakannya lebih berwarna. Di antara gelap dan terang, manusia melengkapinya dengan cinta dan perang. Di antara kelahiran dan kematian, manusia melengkapinya dengan persetubuhan dan pembunuhan. Begitu pula sabda-NYA agar “beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhi bumi dan taklukan itu”. Di antara semua yang baik, manusialah yang dikatakan-NYA “Amat Baik”. Namun, Allah menciptakan Adam dan Hawa kemudian meletakkannya di   sebuah taman. Di mana sebuah sungai mengalir keluar dari Eden untuk mengairi taman itu, dan di situ sungai itu bercabang menjadi empat sungai. Entah di mana taman itu berada, meskipun terdapat sejumlah klaim dari peneliti tentang lokasi geografis dari Taman Eden. Dikatakan berada diantara sungai Tigris, Eufrat, Pison dan Gihon. Ada lagi yang m...

Penikmat Pecinta

Kita adalah buih keringat dari sengat matahari, sepanjang perjalanan kisah kita selalu menyimpan banyak misteri. Kita adalah pertentangan bagi dirinya sendiri, kontradiksi yang tidak berkesudahan antara keberadaan dan kehampaan. Begitupun dalam melakukan interaksi individu per individu, alih-alih menjadi yang otentik kita selalu menampakan wajah lain sebagai dalih. Kita merupakan kehampaan yang niscaya. Oleh karena itu, kita selalu memberi harga pada setiap benda yang kemudian merenggutnya kembali. Benda-benda adalah lawan tunggal kebebasan.  Perlawanan terhadap benda-benda, adalah klimaks dari semangat pemberontakan promothus melawan Universum yang telah dibangun terutama sejak jaman romantik. Pada saat yang bersamaan, itu pun adalah perlawanan kartesian dalam menaklukkan kegelapan bawah sadar pada zamannya, atau semangat Kantian dalam mempertahankan otonomi manusia dari kuasa-kuasa diluar manusia. Hal yang unik perlu kita cermati adalah cara kita (manusia) melakukan interaks...

Ketakutan, Harapan dan Dunia Apocalips

Narasi distopian telah lama menjadi bentuk memikat dan pemikiran hiburan, terutama bagi mereka yang mengambil minat dalam mempelajari struktur sosial dan politik. Dalam kurun beberapa tahun terakhir, terdapat beberapa tontonan box office yang mencoba mereproduksi tentang wacana tersebut. Dari klasik seperti Nineteen Eighty-Four dan Brave New World, Water World, World War Z hingga yang hits saat ini The Hunger Games, cerita ini bermain di ketakutan sekaligus menjabat sebagai tanda-tanda peringatan untuk masa depan. Hidup kita selalu didorong oleh rasa takut, kemudian reproduksi akan harapan yang muncul setelah ketakutan itu dapat dikelola. Ketakutan itu membuat kita teralienasi untuk menghabiskan dan terus mengkonsumsi. Mendorong kita untuk menjadi individu yang apatis dan menarik diri dari masyarakat. Mengutip kata Niccolo Machiaveli dalam The Prince...

Korupsi Dan Oligarki Politik

Akar Sejarah Korupsi Akar dari realitas sosial objektif korupsi dapat ditelusurin dari struktur sosial budaya masyarakat Indonesia. Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut. Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. D ari kejadian sejarah terdapat hal yang menarik untuk dicatat adalah peninggalan Mataram yang menyuburkan kroupsi saat ini, meskipun pada saat itu belum didefinisikan sebagai tindakan korupsi, yaitu system penggajian kerajaan Mataram. Soemarsid Martono (1963) mencatat adanya system  salary-financing  dalam bentuk hak milik berupa tanah garapan yang diberikan kepada pejabat sesuai dengan kedudukannya. Dari tanah garapan itu, sang pejabat diharapkan bis...