Kita adalah buih keringat dari sengat matahari, sepanjang perjalanan kisah kita selalu menyimpan banyak misteri. Kita adalah pertentangan bagi dirinya sendiri, kontradiksi yang tidak berkesudahan antara keberadaan dan kehampaan. Begitupun dalam melakukan interaksi individu per individu, alih-alih menjadi yang otentik kita selalu menampakan wajah lain sebagai dalih. Kita merupakan kehampaan yang niscaya. Oleh karena itu, kita selalu memberi harga pada setiap benda yang kemudian merenggutnya kembali. Benda-benda adalah lawan tunggal kebebasan.
Perlawanan terhadap benda-benda, adalah klimaks dari semangat pemberontakan promothus melawan Universum yang telah dibangun terutama sejak jaman romantik. Pada saat yang bersamaan, itu pun adalah perlawanan kartesian dalam menaklukkan kegelapan bawah sadar pada zamannya, atau semangat Kantian dalam mempertahankan otonomi manusia dari kuasa-kuasa diluar manusia. Hal yang unik perlu kita cermati adalah cara kita (manusia) melakukan interaksi dengan manusia lain dalam sebuah transaksi kehidupan. Di tengah kehampaan, kita selalu mendambakan kehadiran.
Namun, kehadiran tak berarti apapun tanpa manifestasi yang disebut kebendaan. Cantik itu dengan paras terpoles make up, kuat merupakan bentuk tubuh yang berotot, nikmat adalah dengan saling mempersatukan kelamin, mampu yang diartikan memilki sumber daya melimpah secara materiil.
Kita tidak pernah hadir sebagai esensi, tetapi justru merupakan perwujudan eksistensi. Begitupun hubungan manusia dengan manusia lainnya. Kita tidak pernah benar-benar membutuhkan manusia lain secara tulus, semua berkabut dan berselimut. Melalui interaksinya kita sebagai subyek dan akan selalu memandang manusia lain sebagai obyek. Sebagai contoh hubungan seksual sendiri menurut freud adalam teori libidonya bahwa tindakan manusia itu didorong dalam rangka memenuhi hajat seksual, sehingga merupakan determinasi, dianggap satre sebagai penipuan diri.
Satre memandangan hubungan seksual antar pria dan wanita bukan sekedar menginginkan ketubuhan semata, bukan pula tubuh sebagai benda. Melainkan menginkan ketubuhan dengan mengidentifikasinya diri terhadap lawan jenisnya. Ketika tubuh dipandang sebagai obyek terjadi konflik saling mengobyektivitir satu sama lain, satu diantaranya, eksistensinya akan didominasi oleh yang mengatasinya. Nafsu selalu menginginkan obyek dan obyek nafsu seksual ialah ketubuhan yang bersituasi dalam dunia. Bukan tubuh sebagai benda, karena benda tidak bersituasi.
Kepuasa dalam tindakan seksual kata satre adalah merampas eksistensi kebebasan seketika, dibawah pandangan orang yang menguasainya. Betapapun kenikmatan sebagai tujuan, kenikmatan juga adalah sebagai kematian dari kenikmatan itu sendiri ketika kenikmatan itu tercapai dalam ejakulasi.
Dan inilah yang dinamakan lingkaran setan oleh satre. Namun itu tidak akan terjadi ketika salah satu dari keduanya tidak dapat mengatasi konflik saling mengobyektivitir. Maka, tidak heran pemerkosaan terjadi akhir-akhir ini karena Laki-laki melalui hasrat seksual yang membutuhkan objek untuk pemenuhannya. Berbagai cara akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya, dari cara yang paling kasar dengan memperkosa, maupun memanipulasi dengan cara berbincang santai dalam sebuah bar hingga mabuk kemudian menyetubuhinya saat kondisi tak sadar dalam kamar hotel.
Obyek tidak butuh kesadaran untuk memberikan timbal balik. Sebagai objek, kita hanya diberi kesempatan untuk tunduk dan terhegemoni baik secara represi maupun idelogis.
Anomali lain tentang hubungan percintaan juga terjadi sangat jelas. Jika kita begitu menghamba pada nostalgia AADC 2, maka itu bentuk nyata bahwa manusia sejatinya selalu ingin mendominasi yang lainnya. Menurut Sartre, cinta tidaklah cukup dengan suatu perjanjian dari pihak lain. Cinta merupakan ikatan berdasarkan pilihan bebas yang merupakan kesetiaan pada diri sendiri. Inilah yang dikatakan sebagai sebuah situasi paradoksal.
Orang yang mau mencintai ingin mencintai dengan sebuah kemerdekaan, tetapi tidak ingin agar kemerdekaan itu ada. Maksudnya, ketika seseorang mencintai orang lain, maka ia mau mencintai pasangannya itu dengan kemerdekaan penuh, sementara dia tidak menghendaki agar orang yang dicintai itu mempunyai kemerdekaan.
Meskipun demikian, subjek yang mencintai ini tidak memandang orang lain ini hanya sebagai alat saja. Dia mau menjadi seluruhnya bagi yang dicintainya. Ia juga bersedia menjadi objjek bagi yang lain sedemikian rupa sehingga orang yang dia cintai itu bersedia menghilangkan dirinya dalam dia sebagai hal yang mendasari eksistensinya. Inilah situasi paradoksalnya.
Mencintai tetapi tidak menghendaki adanya kebebasan dari orang yang dicintai. Pihak yang mencintai tidak mau berpengaruh terhadap kemerdekaan orang yang dicintai. Dengan kata lain masing- masing pihak saling mempertahankan kemerdekaannya.
Dalam cinta, subjek yang mencinta berusaha menjadikan pihak yang dicintai sebagai objek atau en-soi pemenuh hasrat cintanya. Sebaliknya pihak yang dicintai pun dengan sadar menjadikan orang lain sebagai objek atau en-soi pemenuh kebutuhanya untuk dicintai. Dapat dikatakan bahwa tidak ada subjek dalam cinta ala Sartre ini. Masing-masing pihal adalah objek.
Oleh sebab itu menurut Sartre, dalam cinta tak perna akan terjadi cinta sejati atau cinta tanpa pamrih sebab masing-masing pihak berusaha untuk saling mengobjekkan pribadi yang lain. Jadi cukup jelas kenapa rangga begitu ingin memiliki cinta kembali. Jadi itu puisi milik Aan Mansyur yang berucap “jurang antara kebodohan dan keinginanku untuk memilikmu sekali lagi” juga merupakan paradoks dalam hal ini. Karena manusia sedang dalam kondisi sadar ketika ingin mendominasi dan menghegemoni yang lainnya.
Namun, pada akhirnya manusia akan menapaki hidupnya dengan kesendirian.
Kita akan dihantui rasa kehilangan yang tak berkesudahan. Kesemuannya akan direnggut begitu saja dari kita tanpa alasan yang cukup jelas. Mungkin, jika Tuhan adalah maha kuasa, kenapa tidak dia menghilangkan diri-NYA sendiri saja. Semua rasa kehilangan memaksa kita untuk mempertanyakan kesadaran itu sendiri. Ingat, kita semua adalah objek bagi manusia lain, bahkan dalam cinta yang selalu dianggungkan oleh kita. L’enfer c’est less auters! (Orang lain adalah neraka!) Ungkapan itu akhirnya cukup jelas bagi kita. Tidak perlulah kita melayakan diri untuk selalu berdampingan dengan orang lain.
Karena pada akhirnya kelayakan itu bukan kita yang menentukan secara bebas. Kita benar-benar tidak memiliki kehendak bebas untuk menentukan pilihan secara sadar. Maka itu, kita selalu merasa terdominasi dan tersakiti berulang kali. Selalu ada pendarahan internal ketika dunia kita terhisap ke dalam dunia orang lain. Hasrat pun gagal memulihkan diri sendiri yang hilang akibat orang lain.
Kita mengalami keterlemparan menurut Heidegger dimana kita sebagai manusia sesungguhnya tidak mengetahui asal usul dan alasan keberadaan hidup kita sendiri. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah merelakan diri kita melebur kedalam semseta. Membiarkan diri kita remuk ditimbun tanah dan terhempas. Karena,ia (manusia) tidak menjadi apa-apa sampai ia menjadikan hidupnya apa-apa, manusia adalah bukan apa apa selain apa yang ia buat dari dirinya sendiri.
Comments
Post a Comment