Sudah satu bulan,
tepatnya setelah aku memutuskan untuk kembali dari perantauan. Sekalipun
hidupku diperantauan sangat singkat. Tetapi buatku lebih dari cukup mendapat
pelajaran dari sana. Karenapun aku tidak membayangkan akan menghabiskan separuh
hidupku di kota semacam Jakarta. Kota yang menurutku sangat mekanis dan teknis.
Semua yang dikerjakan seolah-olah untuk membangun peradaban. Tetapi ku pikir
hanya sebuah kota yang berkejar-kejaran dengan sibuknya ambisi setiap manusia
agar tidak tertinggal dan tergilas roda ekonomi.
Di sana aku melihat,
bagaimana negara bekerja dengan sangat massif menancapkan kakinya bersama
segelintir orang. Sisanya, aku hanya melihat orang yang bertahan hidup. Seperti
dengan kerja berburu dan meramu pada masa lalu. Hari ini, mereka mengenal
sebuah konsep kerja namun, dengan bentuk yang berbeda. Sisanya, aku bahkan
tidak peduli. Kecuali gubug-gubug kumuh di tengah gedung pencakar langit.
Kampung nelayan yang terbentuk dari timbunan cangkang kerang hijau.
Selama di sana,
aku tidak pernah meninggalkan pikiranku dari kota kelahiranku. Entah kenapa,
tetapi selalu ada yang tersisa. Seakan sebagian diriku tertinggal di kota ini
(Purwokerto). Beberapa kali, aku bahkan lebih sering menyempatkan pulang untuk
mencari apa yang sebenarnya tertinggal. Bermacam-macam cara aku mencarinya.
Tapi tetap, aku tidak menemukan apa yang sebenarnya tertinggal.
Aku pernah kembali
dengan mengunjungi makam ayahku. Ku pikir ada janji yang belum tuntas aku
kerjakan di kota ini. Ternyata tidak, ayahku tidak mengatakan apapun, meski aku
mengunjunginya setiap hari. Aku pernah mengecewakan ayahku, dengan lulus
terlambat dan beberapa kejadian lainnya (beberapa orang telah mengetahui, meski
tidak semua). Tapi kupikir dia memahaminya saat ini. Aku tidak hanya sedang
bermain-main kala itu. Aku tengah belajar untuk diriku, sesuai dengan pesan
yang dia sampaikan. “Pukullah dirimu sekeras mungkin, jika perlu hingga berlumur
darah, temukan dirimu sekalipun harus membasuh luka berkali-kali.” Akhirnya,
aku kembali ke Jakarta. Kembali menjalani rutinitas kerja yang menurutku biasa
saja.
Aku masih merasa
gelisah, bukan soal uang dan jabatan. Tetap saja aku masih merasa ada yang
hilang dari diriku. Teringat saat itu, ibuku pernah memintaku untuk tetap
tinggal bersamanya. Aku kembali pulang, berbicara dengannya. Bertanya apakah
dia masih merasa keberatan aku berada jauh darinya. Dia menjawab “Kalau itu
pilihanmu, aku hanya bisa mendoakan, sekalipun memang beberapa hal aku merasa
berat”. Keberatannya bukan karena dia ragu aku tidak mampu bertahan hidup di luar
rumah. Dia mengakui kalau aku bahkan lebih sering menghabiskan waktu untuk
diriku sendiri di luar. Sesaat aku pulang ke rumah, aku menceritakan apa yang
telah ku dapat ke pada ibuku. Ternyata alasan dia tidak membiarkanku jauh bukan
lain karena aku baru saja berislam.
Padahal waktu itu, keputusanku berislam
sangat politis. Aku menggeser kepercayaanku karena alasan yang sangat rasional
dalam kacamata arkeologi dan sejarah agama. Bukan karena tiba-tiba Tuhan
memberiku mimpi dengan kedatangan seorang Nabi yang membisiki telingaku. Sebenar-benarnya
diriku adalah apa yang dikatakan Rumi “Kucari Tuhan di Candi, Gereja, dan
Mesjid. Namun kutemukan Tuhan justru di dalam hatiku”. Sampe hari ini, kami
masih berdebat soal itu. Meskipun begitu, konsekuensi ritus ibadah, sesekali
aku kerjakan. Sekalipun aku tetap berdoa pada semesta. Tetapi aku lebih merasa nyaman
melakukan ibadah dengan mendatangi kampung nelayan, berkunjung ke rumah tukang
becak atau sekedar menjadi teman curhat kawanku. Sisanya, aku beribadah dengan
menghidupi mimpiku dan membaginya kepada kawan-kawanku. Sama seperti para nabi
yang menyebarkan agama saat ini. Para nabi juga bertutur tentang cita-cita tentang
dunia yang hendak mereka wujudkan. Sekali lagi, aku tetap tak menemukan apapun.
Aku kembali ke Jakarta, lagi.
Aku kembali
merasa bahwa diriku masih hilang. Entah apa, aku kembali mencari apa yang sebenarnya
tertinggal. Aku mencoba mencintai seseorang, mungkin aku bisa menemukan alasan
tentang yang hilang itu. Sangat serius, tidak seperti yang biasanya aku lakukan
dengan bermain-main. Kali ini aku sangat serius. Membagi waktuku untuk selalu pulang.
Ternyata mencintai itu hal yang sangat sulit. Atau mungkin aku telah lupa cara
mencintai. Aku mulai dengan menelanjangi diriku, sangat telanjang. Bercerita
tentang apa diriku saat ini. Terbentuk atas pengalaman masa lalu hingga hari
ini. Tetapi aku belum menceritakan apa yang ingin aku lakukan di masa depan.
Saat itu memang aku merasa ketakutan tentang apa jadinya aku di masa depan.
Tetapi akhirnya, aku meninggalkan perempuan itu. Mungkin aku belum cukup punya
kemampuan untuk berdampingan dengan orang lain. Atau memang aku tidak sedang
mencari itu? Atau Bukan itu bagian diriku yang hilang?. Setidaknya, aku pernah
belajar dengan sangat serius. Pada waktu tertentu, aku sering tertawa. Kadang
merasa rindu terhadap dirinya di malam saat kita berbagi cerita. Beberapa hal
tentang prinsip memang sulit itu dilakukan negosiasi. Cintapun tak cukup
menjadi jembatan atas pertentangan itu.
Aku kembali
lagi, memesan tiket kereta menuju ke barat. Lebihnya waktu kuhabiskan dengan
bekerja dan menikmati diriku sendiri. Kesepian begitu terasa saat ini. Bahkan
lebih sunyi dari sebelumnya. Apa sebenarnya yang hilang? Kenapa aku begitu
merasa kesepian? Merasa selalu ada yang kurang lengkap dalam diriku. Satu hal
yang belum aku coba gali dengan serius. Sekalipun aku telah mencobanya
berkali-kali. Namun, aku sadar saat itu menjalaninya dengan setengah hati.
Aku kembali
pulang, bertemu dengan banyak orang. Lebih banyak dari waktu sebelumnya saat
aku pulang. Aku mulai berani membicarakan mimpiku. Mungkin sebagian dari mereka
yang mendengar tertawa dalam hati. Sebagian lain mungkin menganggapku naif dan
tidak sadar diri. Tetapi tidak semua, beberapa menyambutku. Membuka tangan
mereka, meski belum sepenuhnya. Sembari aku menyakinkan diriku, bahwa aku
sangat ini mencoba ini sekali lagi. Mencoba menghidupi lagi mimpi yang mungkin
aku sendiri tidak akan tau bagaimana hasilnya.
Tetapi keberanianku
lebih tebal dari sebelumnya. Menengok diriku lagi kebelakang. Ternyata aku
sudah sangat terbiasa dengan kehilangan. Jadi, apa sulitnya aku mencoba kembali
menghidupi mimpiku dengan resiko sebuah kehilangan lagi?. Setapak aku
melangkah, beberapa kawan masih bertahan, beberapa lainnya bahkan percaya tentang
mimpi ini. Tidak mudah, sangat tidak mudah. Tapi aku benar-benar mencoba memukul
diriku sekeras mungkin, hingga berlumur darah, sampai aku menemukan diriku.
Tetapi aku
menemukan diriku dengan menghidupi mimpi yang lebih sering memberiku ketakutan
untuk mencoba. Untuk kali ini, aku tidak ingin rakus melumat untuk diriku
sendiri. Aku akan membaginya kepada yang lainnya. Jika perlu aku tidak akan
malu untuk meminta bantuan. Di kota ini, Purwokerto, aku menemukan diriku yang
tertinggal. Beberapa hal yang tersisa ternyata masih punya daya. Entah apa
jadinya nanti. Tetapi aku perlu mencoba menghidupkannya. Karena aku tidak
sedang memiliki apapun kecuali diriku, sudah sering kali melukai diriku. Sudah
menerima banyak kehilangan yang berarti. Apa yang perlu aku risaukan lagi,
untuk tidak mencoba? Setidaknya aku ingin kematianku lebih masuk akal ketimbang
hidupku.
Comments
Post a Comment