Narasi distopian telah lama
menjadi bentuk memikat dan pemikiran hiburan, terutama
bagi mereka yang mengambil minat dalam
mempelajari struktur sosial dan politik. Dalam kurun beberapa
tahun terakhir, terdapat beberapa tontonan box office yang mencoba mereproduksi
tentang wacana tersebut. Dari klasik seperti Nineteen
Eighty-Four dan Brave New World, Water World, World War Z hingga yang
hits saat ini The Hunger Games, cerita ini bermain
di ketakutan sekaligus menjabat sebagai tanda-tanda
peringatan untuk masa depan.
Hidup kita selalu didorong oleh rasa takut, kemudian reproduksi akan harapan yang muncul setelah ketakutan itu dapat dikelola. Ketakutan itu membuat kita teralienasi untuk menghabiskan dan terus mengkonsumsi. Mendorong kita untuk menjadi individu yang apatis dan menarik diri dari masyarakat. Mengutip kata Niccolo Machiaveli dalam The Prince "Karena cinta dan rasa takut dapat tidak ada bersama-sama, jika kita harus memilih antara mereka, itu jauh lebih aman untuk ditakuti daripada dicintai."
Penyebaran
ide-ide tentang sebuah proses kehancuran dunia terus direproduksi dengan
berbagai macam cara. Gambaran tentang dunia yang hancur dalam The Colony, The
Maze Runner, Armageddon, 2012, The Day After Tommorow hingga misi penyelamatan
umat manusia dalam Interstellar. Melalui semua itu, ketakutan dan harapan
diproyeksikan sebagai sesuatu yang saling berhubungan. Dibalik cerita tentang
kehancuran tersebut kita dapat memahami bagaimana struktur sosial yang
eskploitatif (missal : kapitalisme) dapat membuat kita putus asa.
Setengah abad terakhir
telah membawa kita kepada kiamat berwujud zombie. Sebuah dunia fiksi di mana
umat manusia sebagian besar telah berubah menjadi bodoh yang menghadapi segerombolan
manusia pemakan daging dengan hanya beberapa yang selamat secara acak tersisa
untuk mengukir kehidupan. Cerita yang terbaru muncul dengan popularitas besar
bermana The Walking Dead, dan mungkin menjadi yang paling berpengaruh dalam
memberikan potongan-potongan atas garis panjang dari narasi dan tema yang
berpusat tentang kelangsungan hidup, interaksi manusia dan kelangkaan. Film ini
mencoba mempersepsikan kondisi pertempuran politik, ekonomi dan sosial bernuansa
teoritis. Mendorong kita untuk mencari sebuah pertanyaan mendasar tentang
bagaimana kelangsungan hidup? Bagaimana proses interaksi kita dengan orang
lain? Mengarahkan pada asumsi tentang jawaban dualitas, antara yang jahat dan
baik? Kompetisi atau kolektif? Dermawan atau serakah? Kekerasan atau damai?
Dunia Apokalips
Sebuah
tema umum di antara agama menjelaskan bahwa
manusia "dilahirkan dalam dosa" yang sangat
dipengaruhi oleh "kekuatan jahat" untuk melakukan
hal-hal yang berbahaya. Orang yang mencakup tema
ini akan cenderung memiliki iman yang kurang dalam
kemanusiaan. Sebab, jika kita benar-benar terlibat dalam perjuangan
sehari-hari untuk melawan kekuatan jahat, adalah wajar
untuk menganggap bahwa kejahatan akan mengambil peran yang
banyak. Bagaimana kita bisa percaya siapa pun
yang pada saat itu juga, berpotensi kehilangan
kemampuan untuk bertindak atas hati nurani mereka sendiri? Tema
umum sistem yang dominan ekonomi kita - kapitalisme - adalah bahwa
manusia pada dasarnya kompetitif dan egois. Ketika
dikombinasikan, mudah untuk melihat bagaimana ideologi tersebut
dapat membuat sistem sangat berwibawa dan hirarkis. Setelah semua, orang-orang
yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan metafisik yang
kuat dan jahat sementara juga ditarik ke
arah berperasaan, kepentingan tentu tidak bisa
dipercaya dengan kehendak bebas.
The Hunger Games berlatar pada tempat di sebuah negara bernama Panem, yang berdiri di Amerika Utara setelah kehancuran peradaban benua akibat peristiwa apokalips yang tidak diketahui. Negara ini diperintah oleh Presiden Snow yang diktator dan terdiri dari ibu kota Capitol yang makmur dan dua belas distrik di sekelilinginya, distrik-distrik miskin yang disatukan di bawah kontrol Capitol. Dalam film The Hunger Games mencoba menggambarkan tentang kondisi tekanan psikososial terhadap distrik-distrik pinggiran untuk mempertahankan tirani dan stabilitas capitol sebagai epicentrum peradaban. Suzanne Collins yang merupakan penulis novel tersebut sangat jitu membidik tentang masalah kemiskinan yang parah, kelaparan, penindasan, dan dampak peperangan. perjuangan mempertahankan diri yang dihadapi oleh warga Panem di distrik-distrik dan di dalam Hunger Games. Kelaparan penduduk distrik dan
Serial Walking Dead memiliki konotasi cerita yang berbeda. Di mana potensi
ancaman gerombolan zombie pemakan daging menjadi renungan untuk bahaya yang
jelas dan bahkan manusia yang berada di luar saling berburu untuk mendapatkan
satu sama lain guna bertahan hidup. Zombie bukan merupakan sesuatu yang jahat, namun
justru manusia lainnya yang pada akhirnya merubah kepribadian manusia menjadi
kanibal. Berkelompok untuk saling membunuh dan menjarah. Mungkin itulah
survival of the fittest Herbert spencer ala dunia post apokaliptik.
Lebih satir lagi
Idiocrazy mengambarkan sebuah hiperbola tentang manusia yang lebih parah dari
zombie. Premis yang ditawarkan film ini sederhana. Orang pandai di dunia mulai
mementingkan diri sendiri, menjauhi kegiatan prokreasi (bikin anak), dan
melakukan penelitian untuk hal yang tidak penting. Akibatnya, jumlah populasi
orang dengan IQ diatas rata–rata jatuh, dan dunia didominasi orang – orang
ber-IQ rendah yang memang rajin memperbesar pohon keluarga. Di tahun 2505,
dunia dipenuhi orang–orang yang tidak cerdas, menyukai kekerasan, banal, dan
yang lebih parah, yang ada di otak mereka hanyalah sex, dan sex. Semangat
postmodern begitu nampak dalam pembuatan film ini.
Serupa kritik
Nietzsche, Popper, Foucault, atau Lyotard pada kecenderungan historisisme, film
ini secara lugas menggambarkan bahwa pakem kisah sains fiksi yang selalu
percaya masa depan akan dipenuhi gadget canggih, mobil terbang, dan segala
macam hanyalah ilusi yang belum menjadi kenyataan. Paham historisisme ala Hegel
misalnya, percaya bahwa gerak sejarah akan selalu maju dan bermuara pada
sempurnanya roh dunia. Marx, di lain pihak, meramalkan bahwa masyarakat tanpa
kelas akan hadir pasca keruntuhan kapitalisme. Fukuyama, secara hiperbolis,
menggambarkan bahwa akhir dunia sudah terjadi, dan kapitalisme akan memperluas
kemakmuran di seluruh dunia.
Kritik
kapitalisme juga sempat mencuat, saat digambarkan bahwa karena krisis keuangan
tahun 2032. Dunia apokalips juga menjadi latar belakang film ini. Dimana
terdapat kekeringan, luapan sampah hingga selera seni dengan menonton pantat
selama 90 menit menjadi begitu lucu dan menyenangkan. Hingga akuisisi
perusahaan minuman bemerk yang digunakan untuk menyiram tanah dan minum setiap
hari.
Kapitalisme
Sebagai Harapan dan Ketakutan
Bukan
merupakan rahasia bahwa kapitalisme berkembang melalui eksploitasi yang
berkepanjangan. Begitu tergantungnya kapitalisme terhadap tenaga sebagia besar
orang. Sehingga mereka dapat memanfaatkan itu sebagai hubungan sosial dimana
mayoritas dapat menyewakan tenaga mereka dan menciptakan nilai. Perlu populasi
besar dari yang miskin dan menganggur seperti kata Marx yang disebut tantara cadangan
tenaga kerja. Dalam rangka menciptakan sebuah permintaan untuk tenaga kerja dan
dengan demikian membuat posisi eksploitatif yang lebih kompetitif berubah
menjadi harapa untuk mereka yang membutuhkan agar bisa mengambil bagian didalamnya
untuk sekedar bertahan hidup. 3,6 milliar orang di dunia yang begitu diinginkan
oleh 85 orang terkaya di dunia, merelakan dirinya menjadi bagian dari mesin
produksi secara sukarela karena kebutuhan untuk bertahan hidup.
Produksi adalah
darah. Karena kapitalisme sangat bergantung pada basis pembelian dan
produksi. sistem kapitalis tidak didasarkan
pada kebutuhan, tetapi lebih pada permintaan, ia
memiliki kecenderungan untuk menghasilkan lebih. Kelangkaan menjadi
senjata untuk mengelola ketakutan dalam kapitalisme. Ketakukan akan
overproduksi membuat kapitalisme terus mempertahankan permintaan untuk tetap
bertahan. Michael Roberts menjelaskan Overproduksi adalah
ketika kapitalis menghasilkan terlalu banyak dibandingkan dengan permintaan untuk
hal-hal atau
jasa. Tiba-tiba kapitalis membangun saham yang mereka
sendiri tidak bisa menjualnya, mereka memiliki
pabrik-pabrik dengan terlalu banyak kapasitas dibandingkan
dengan permintaan dan mereka memiliki terlalu banyak
pekerja dari yang mereka butuhkan. Jadi
mereka menutup pabrik, memangkas tenaga
kerja dan bahkan melikuidasi seluruh
bisnis. Itu adalah krisis kapitalis.
Mempertahankan
kelangkaan juga diperlukan untuk peningkatan kekayaan. Misalnya, jika jutaan
orang tidak dapat mengakses kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian tempat
tinggal dan kesehatan. Komodifikasi kebutuhan tersebut menjadi semakin efektif.
Di sisi lain, kehadiran dari aksesibilitas atas kekayaan yang dinikmati oleh
elit menjadi semakin berharga kerena sangat dicari. Dalam hal ini, bukan
akumulasi kekayaan pribadi yang menciptakan posisi menguntukan di tanggal sosial
ekonomi, tetapi itu adalah proses ekonomi yang menciptakan pemiskinan mayoritas.
Mengizinkan akses manusia untuk kebutuhan dasar, pada dasarnya akan
menghancurkan daya tarik (dengan demikian, kekuasaan) dari kekayaan dan sifat
koerisif atas kekuasaan karena memaksa adanya partisipasi. Efek ini
dipertahankan melalui kelangkaan buatan, pemotongan terkoordinasi kebutuhan
dasar dari mayoritas. Langkah-langkah ini juga berupaya menciptakan lanskap
predator yang miri dengan dunia zombie pasca-apokaliptik di mana lubang
kelangkaan diproduksi oleh si miskin terhadap si miskin, dan pekerja terhadap
pekerja, sambil menarik perhatian dari ancaman zombie. Sementara pemimpinan
kawanan menikmati sebagai sumber daya yang terberikan secara cuma-cuma.
Manusia
juga dijadikan bodoh untuk tidak berpikir serta berlaku seperti zombie
(bekerja-konsumsi-bekerja-konsumsi). Relasi sosial berubah menjadi kompetisi
dan saling memangsa satu sama lainnya. Bahkan kematianpun dapat dikomodifikasi
menjadi sesuatu yang dinilai dengan kapital. Kita seakan dipaksa oleh kekuatan
yang agung untuk menjual diri kita melalui kerja, hari demi hari tanpa
berhenti. Amerika merupakan gambaran nyata dimana mereka tengah menyongsong
dunia post-apokaliptik. Terdapat 46 juta orang yang hidup dalam kemiskinan. 2,5
juta orang yang telah gagal membiayai kuliah menjadi mahasiswa dan terpaksa
membuang diri keluar dari sekolah. 49 juta orang yang menderita kerawanan pangan
karena kesulitan memperoleh akses terhadap makanan. 3,5 juta tuna wisma tinggal
di trotoar jalanan, sementara terdapat 18,6 juta rumah kosong yang tak mampu
terbeli. 22 juta orang menganggur atau setengah menganggur, meskipun mereka
telah layak menjadi komoditas yang siap jual. Tetapi memang dibutuhkan tentara cadangan
tenaga kerja agar bursa pekerja semakin murah setiap tahunnya.
Narasi tentang
dystopia adalah fiksi. Kita tidak hidup dalam dunia yang sedang mencemooh
tentang kehendak bebas. Sudah waktunya bagi kita untuk meningkatkan kapasitas
kreatif dan produktif. Paling tidak, membuat sedikit celah dan ruang untuk
jalan kita sendiri. Konstruksi yang mengarahkan kita untuk melucuti rasa peduli
dan bekerja sama harus segera diruntuhkan. Membuat kita untuk melangkah maju
dengan menopang satu dengan yang lainnya.
Another
world is possible begitu kata subcomandante marcos. Tapi mari kita yakini bahwa
dunia yang lain tidak hanya mungkin. Kita harus merencanakan bersama dari
sesuatu yang sederhana tentang kolektif dan kooperatif dalam jargon anarkisme.
Pemandangan tandus yang kita tinggali hari ini akan menjadi pertanian yang
subur milik hersel. Kota woodbury dengan gubenur yang menyerakan, serta
perangkap terminus yang diciptakan para kanibal adalah sebuah konstruksi
berlapis yang sudah mendarah daging dan patutunya di dekonstruksi. Human nature
is talking to us and we're starting to listen.
Comments
Post a Comment