Skip to main content

Korupsi Dan Oligarki Politik

Akar Sejarah Korupsi

Akar dari realitas sosial objektif korupsi dapat ditelusurin dari struktur sosial budaya masyarakat Indonesia. Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut. Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Dari kejadian sejarah terdapat hal yang menarik untuk dicatat adalah peninggalan Mataram yang menyuburkan kroupsi saat ini, meskipun pada saat itu belum didefinisikan sebagai tindakan korupsi, yaitu system penggajian kerajaan Mataram. Soemarsid Martono (1963) mencatat adanya system salary-financing dalam bentuk hak milik berupa tanah garapan yang diberikan kepada pejabat sesuai dengan kedudukannya. Dari tanah garapan itu, sang pejabat diharapkan bisa mengongkosi semua pengeluaran yang bertalian dengan pelaksanaa tugas dan kewajibannya. Sistem ini secara tradisional melahirkan penyimpangan dalam pengelolaan negara karena tidak ada pemisahan antarauang pemerintahan dan milik pribadi. Telah terjawab sudah, salah satu penyebab korupsi saat ini adalah sistem kerajaan yang saat itu tidak masuk dalam kategori korupsi, tetapi kini adalah korupsi. Perubahan definsi terjadi dalam hal ini.

Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, telah dapat diketahui bahwa korupsi menurut banyak pengamat adalah warisan pada masa kerajaan yang masih mengenal sistem pemerintahan feodal. Secara sederhana kerajaan akan dipimpin oleh bangsawan (raja/sultan) yang notabene memiliki kekuasaan penuh. Korupsi yang ada saat ini berasal dari masa lalu yang bertumpu  pada kekuasaan “birokrasi patrimonial” dan bertumpu sistem feodal. Mentalitas feodal dalam masyarakat Indonesia saat ini merupakan salah satu faktor penyebab kenapa sulitnya membangun masyarakat modern yang bersih dan bebas dari korupsi. Feodal tidak selalu memiliki makna negatif, jepang merupakan negara yang memiliki feodalisme cukup tinggi bahkan hingga saat ini. Namun jepang dapat melakukan perubahan ke arah yang lebih maju. Mereka mengikuti perkembangan zaman dengan struktur feodalnya, bukan tertinggal oleh karena memiliki sistem sosial yang feodal.

Kemudian pada fase Penjajahan. Banyak ahli seperti Clive Day (1966) menyoroti peran VOC dan pemerintahan kolonial sebagai lembaga yang memperkenalkan tradisi korupsi, sebelum Indonesia mengenal sistem pemerintahan modern. Ketika itu VOC dengan kolonial mengganti penggajian tradisional denag sistem pajak atas tanah dan hasilnya. Lagi-lagi terkait dengan kekuasaan, praktik korupsi yang dilakukan oleh para priyayi Jawa untuk mendapatkan kekuasaan yang dibagi-bagikan oleh Belanda. VOC pun bangkrut karena praktik korupsi yang yang meluas di lingkungan perusahaan perdagangan itu, seperti yang ditulis oleh sarjana Belanda Dr. J. C. Van Leur.

Fase modern yang dialami Indonesia juga tidak melepas Indonesia dari permasalahan korupsi. Menurut Mahfud MD, Indonesia kini berada pada peringkat 4 dan kadang-kadang bergerak di posisi 5 negara terkorup di dunia, bahkan Indonesia pernah meraih peringkat 2 negara terkorup di dunia atau hanya kalah dari Fiji. Ini menunjukan bagaimana pada fase ini justru Indonesia mengalami banyak permasalahan tentang korupsi. Diawali pada zaman orde lama kepemimpinan sukarno, hingga orde baru masa kepemimpinan Suharto merupakan contoh bagi permasalahan korupsi yang tiap hari makin meningkat bahkan pada masa reformasi ini.

Oligarki Politik

Ada tiga pola pemerintahan dalam suatu negeri yang mampu menjunjung kepentingan rakyat (res publica). Yang pertama kerajaan (principato); yang kedua dewan perwakilan kalangan atas atau aristokrasi (ottimati); dan ketiga partisipasi seluruh rakyat atau demokrasi (popolare). Lalu dari ketiga sistem tersebut ada sebuah pola yang merupakan bentuk pengingkaran pemerintah terhadap kepentingan rakyatnya. Pada sistem kerajaan akan dapat diingkari dan berubah menjadi tirani (tirannia); aristokrasi berubah menjadi oligarki (stato dipochi); sedangkan demokrasi berubah menjadi anarki (licenzioso).

Melalui paparan di atas, oligarki merupakan pengingkaran dari sebuah pemerintahan model aristorkasi. Niccolo Machiavelli menjelaskan tentang aristokrasi adalah model pemerintahan yang dipimpin oleh golongan bangsawan, filosof, technocrat dan kelompok yang berada dalam kelompok atas di masyarakat. Namun dalam filsafat politik klasik aristokrasi itu berarti pemerintahan oleh "orang-orang terbaik" dari masyarakat, yang diharapkan dapat merasakan keprihatinan paternalistik bagi anggota rendah hati dari masyarakat yang akan menjaga mereka dari penguasa dengan cara yang murni mementingkan diri sendiri.

Di dalam ilmu pemerintahan modern, aristokrasi dapat merupakan sebuah partai politik. Partai politik pada mulainya hanya diisi oleh orang-orang kelas atas, namun pada perkembangannya partai politik menjadi sarana untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Sigmund Neumann dalam buku karyanya, Modern Political Parties mengemukakan definisi sebagai berikut:
“Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan berbeda”

Partai politik di Indonesia yang menganut sistem demokrasi liberal relatif dapat menjalankan fungsinya sesuai harkatnya pada saat kelahirannya, yakni menjadi wahana bagi para warga negara untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya di hadapan penguasa. Partai politik saat ini lebih terlihat sebagai pelanggaran terhadap sebuah model pemerintahan aristokrasi. Karena pada hakikatnya partai politik digunakan untuk menjembatani antara kepentingan rakyat dengan pemerintah.

Tetapi partai politik hari ini hanya menciptakan sebuah sistem oligarki dimana hanya segelintir orang yang dapat memimpin. Contoh kasus tersebut banyak terlihat di Indonesia, banyak bermunculan partai baru yang sebenarnya hanya merupakan pecahan dari partai-partai besar yang sudah berdiri. Sedangkan aktor-aktornya tidak mengalami perubahan dan seakan-akan masyarakat biasa tidak akan mampu menjadi seorang aktor politik melalui partai-partai tersebut. 

Ini jelas menunjukan bahwa Indonesia sedang pada fase oligarki. Mahfud MD mengakatakan dalam wawancaranya bahwa “Sistem politik kita oligarki, kalau demokrasi hukum akan responsif. Oligarki itu keputusan diambil secara korup oleh pimpinan politik yang tidak memikirkan rakyat, DPR tak berani menindak. Untuk menyelamatkan bangsa ini kita besar-besaran kampanye penegakan hukum. Kalau tidak, bangsa kita akan hancur. Lawan kita saat ini bukan orang tapi pelanggaran hukum, korupsi dan masalah lain yang tidak bisa diselesaikan dengan baik. Sekarang bagaimana kita mengubah jadi demokrasi ”.

Oligarki politik senantiasa akan menghasilkan dampak yang buruk bagi masyarakat. Karena sistem ini hanya merupakan pengingkaran dari sebuah sistem yang diharapkan diisi orang-orang bijak yang bertujuan pada kepentingan rakyat menjadi sebuah permainan beberapa orang saja, serta tidak lagi memikirkan tentang kesejahteraan masyarakat. Di negara berkembang seperti Indonesia partai politik selalu akan berhadapan dengan masalah-masalah kemiskinan, pengangguran, dll. Di beberapa negara fungsi yang agak sulit ialah sebagai jembatan antara “yang memerintah” dengan “yang diperintah”. Sering golongan pertama diisi oleh orang-orang kaya, sedangkan “yang diperintah” banyak mencakup orang miskin. Partai politik juga tidak mampu menjadi jembatan antar kepentingan itu. Justru partai politik menciptakan sebuah atmosfer oligarki dalam perpolitikkan di Indonesia.

Mengutip kata-kata Aristoteles bahwa indentitas antar manusia yang baik dan warga negara yang baik banyak terdapat apabila negara sendiri baik[1]. Apabila negara buruk, maka orang yang baik sebagai warga negara, jadi yang dalam segala-galanya hidup sesuai dengan aturan negara yang buruk itu adalah buruk, barangkali jahat, sebagai manusia; dan sebaliknya, dalam negara buruk, manusia yang baik sebagai manusia, jadi seorang yang betul-betul bertanggung jawab, akan buruk sebagai warga negara, karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan buruk negara itu. Inilah kondisi Indonesia saat ini, diantara ribuan orang yang tengah berlomba-lomba untuk berusaha menaati peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Ternyata pemerintah justru memproduksi sebuah aturan dari hasil kompromi dan jual beli undang-undang. hingga oligarki politik tersebut memunculkan sebuah permasalahan yang tak kunjung selesai yaitu korupsi.

Belajar Dari China

Dalam kondisi politik Indonesia yang semakin tidak menentu, permasalahan korupsi selalu menjadi sebuah sorotan yang tidak kunjung habis untuk di bahas. Menurut beberapa pengamat ekonomi, korupsi menjadi masalah krusial dalam sebuah negara jika tidak diselesaikan. Karena dalam negara berkembang seperti Indonesia, korupsi dapat mengakibatkan tidak meratanya pembangunan dan menciptakan kesenjangan sosial. Korupsi dalam pemerintahan merupakan salah satu praktik dari kejahatan structural yang biasa disebut white collar crime. Proses pemberantasan korupsi selain dibutuhkan undang-undang yang mengatur masalah tindak pidana korupsi yang tepat, dibutuhkan pula lembaga independen yang dapat menjalankan fungsi dalam prosesnya. Di Indonesia telah ada sebuah undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, bahkan telah terdapat sebuah lembaga yang bertujuan untuk melakukan pemberantasan korupsi. Namun dalam praktiknya Indonesia justru masih mengalami permasalahan dalam menyelesaikan masalah pemberantasan korupsi. Kita perlu mencontoh negara-negara yang telah sukses melakukan pemberantasan korupsi, Seperti china, rusia, dan negara-negara lainnya.

Komitmen kuat penguasa China untuk memberantas korupsi sudah dimulai sejak masa Zhu Rongji (1997-2002). Pemberantasan korupsi yang dilakukan Perdana Menteri China itu, merupakan bagian dari reformasi birokrasi. Langkah ini memberikan kepastian hukum sehingga mendorong iklim investasi yang mampu menghimpun dana asing senilai 50 miliar dollar AS setiap tahun. Pertumbuhan ekonominya langsung melesat– terlepas dari kelemahannya. Sayangnya langkah itu justru menyurut di bawah Presiden Jiang Zemin pada awal 2000-an. Jiang menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dan kelompoknya– geng Shanghai. Jiang Mianheng putra sulungnya, selain difasilitasi dalam usaha bisnisnya, juga diberi jabatan. Jiang pun menghimpun dana tak terbatas dari sejumlah departemen untuk menindas kelompok politik dan spiritual yang dianggap sebagai musuhnya, seperti Falun Gong.

Setelah Hu Jintao berkuasa, api pemberantasan korupsi kembali menyala. Penguasa China itu memperingatkan kepada para anggotanya bahwa korupsi mengancam partai di tampuk kekuasaan. Baginya, kekuasaan PKC tidak bisa dianggap keniscayaan semata, sedangkan gerakan antikorupsi merupakan “perjuangan hidup dan mati” bagi partai komunis. Kegerahan Hu atas kasus korupsi bisa dipahami. Reformasi ekonomi yang cenderung kapitalistik yang tidak diikuti dengan reformasi politik yang demokratis, telah membuat elite partai yang berkuasa leluasa menumpuk kekayaan. Hal itu diperparah dengan tidak adanya kontrol masyarakat sipil dan pers. Dilaporkan setidaknya 4 ribu pejabat korup telah hengkang dari China dalam 20 tahun terakhir ini dengan menggondol setidaknya US $ 50 miliar. Sepanjang 2004, pemerintahan Hu menghukum sebanyak 164.831 anggota partai karena menguras uang negara lebih dari 300 juta dollar AS. Sebanyak 15 diantaranya menteri. Selama 6 bulan pertama 2007, angka resmi menyebutkan 5.000 pejabat korup dijatuhi hukuman. Terakhir, mantan Direktur Administrasi Negara untuk Makanan dan Obat-obatan Zheng Xiaoyu yang terbukti menerima suap 6,5 juta yuan (sekitar Rp 75 miliar) dieksekusi mati.

Belakangan elite politik mulai terseret. Chen Liangyu, mantan sekretaris partai di Shanghai yang dekat dengan Jiang Zemin diajukan ke pengadilan tahun lalu. Dia diduga terlibat skandal korupsi senilai 1,25 miliar dollar AS. Begitu juga kasus pemecatan Menteri Keuangan Jin Renqing pada akhir Agustus 2007 lalu. Setelah dikabarkan terlibat skandal wanita, belakangan diketahui dia berperan dalam penggalangan dana untuk menindas Falun Gong. Sebanyak triliunan Yuan uang negara disalahgunakan demi politik Jiang itu.

Kerja keras pemerintah dan partai untuk mengatasi persoalan yang sangat penting bagi legitimasi mereka memang telah membuahkan hasil. Namun demikian, hal itu tidak cukup untuk menghentikan korupsi di tingkat lokal, dan gejala pertumbuhan kembali kasus korupsi di tingkat pusat. Seperti halnya di negara lain, keseriusan pemerintah dalam melakukan tugasnya selalu diperlemah oleh berbagai perdebatan yang sebenarnya tidak perlu, misalnya mengenai usulan bahwa koruptor yang telah mengembalikan uang suap tidak perlu mendapat hukuman, pemberian insentif bagi pejabat yang tidak melakukan korupsi,  dsb. Di sisi lain, tidak mudah menghilangkan penyalah gunaan tradisi guanxi, khususnya ketika bisnis membutuhkan segala-galanya. Sebut saja hiburan, makanan yang mewah, perhiasan yang mewah, biaya studi ke luar negeri atau untuk berjudi. Korupsi di china kini melibatkan pelaku yang lebih banyak dengan jumlah uang yang lebih besar. Bukan lagi suap kecil-kecilan untuk mendapatkan barang kebutuhan pokok atau lisensi usaha. Tetapi uang suap jutaan yuan untuk mendapatkan tanah, saham dan asset BUMN, proyek-proyek konstruksi dan infrastruktur, bahkan hingga bantuan pembangunan.

Saat ini China menerapkan tiga langkah untuk memberantas korupsi, yaitu memperbaiki sistem birokrasi, meningkatkan penyidikan terhadap pegawai negeri, dan mengawasi kekuasaan. Pengawasan ditingkat administrasi pemerintahan dilakukan oleh Kementrian Pengawasan, sedangkan pengawasan internal di tubuh partai dijalankan oleh Direktorat Disiplin. Seperti di Indonesia, meski pemerintah China terus melakukan kampanye antikorupsi dan penangkapan ratusan pejabat, aksi penyuapan, penggelapan, dan berbagai bentuk tindak korupsi masih terjadi. Hal itu dimungkinkan karena elite partai masih menguasai industri penting seperti perbankan, properti dan manufaktur, dan pemerintah pusat tak bisa mengontrolnya. Sebenarnya korupsi di China jauh lebih besar dari yang dipublikasikan secara resmi. Di The International Herald Tribune, Jim Yardly menyebutnya “boom in corruption”. Apalagi pers dan internet masih dikendalikan partai. 

Meski berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2007 yang dikeluarkan Transparency International menunjukan China mendapat skors 3,5, atau jauh lebih baik dari Indonesia yang skornya hanya 2,3, namun dalam praktek korupsi sangat mungkin keadaanya jauh lebih parah. Hal itu dimungkinkan mengingat survey ini didasarkan pada persepsi pengusaha yang berada di bawah tekanan rejim komunis. Dalam buku "The China Business Handbook" dilaporkan sepanjang tahun 2003 tidak kurang 14.300 kasus yang diungkap dan dibawa ke pengadilan dan divonis seumur hidup, bahkan beberapa yang sebagiannya divonis hukuman mati.

Sampai tahun 2007 Pemerintah Cina telah menghukum mati 4.800 orang pejabat negara yang terlibat praktik korupsi baik dalam tingkat lokal maupun pusat. Pemerintah China juga mengeluarkan aturan yang mengharuskan pejabat yang hendak bepergian ke luar negeri melapor kepada atasannya terutama ketika membawa uang dalam jumlah besar. Kewenangan PKC yang sangat besar adalah akar masalahnya. Anggota partai yang berjumlah sekitar 68 juta orang mendapat perlakuan istimewa, dimana kejaksaan atau kepolisian tidak boleh menentukan, apakah orang tersebut boleh diajukan ke pengadilan atau tidak. Partailah yang menentukan proses hukumnya, termasuk dalam penetapan hukumannya. Jadi partai bisa berada diatas hukum maupun undang-undang yang berlaku. Tingkat kerahasiaan yang sangat tinggi di pemerintahan selama ini, turut juga menyuburkan korupsi. 

Meski Presiden Hu ingin memastikan legitimasinya dengan menanggapi tuntutan publik untuk membasmi korupsi, ia belum menunjukkan kemauannya untuk mereformasi sistem politiknya. Wajar saja jika upaya gerakan antikorupsi yang dilakukannya terkesan hanya bertendensi politis untuk menyingkirkan klik Jiang yang masih mengendalikan asset dan kekuasaan.

Bagaimanapun, demokrasi termasuk kebebasan pers, adalah pilar pokok pemberantasan korupsi. Keinginan Hu Jintao mempertahakan kekuasaan monolitik partai dengan alasan menghindari demokrasi gaya barat, tentu menjadi kontra produktif dengan pemberantasan korupsi. Sebab tanpa melibatkan pers, rakyat, dan organisasi masyarakat sipil dalam pengawasan, gerakan antikorupsi tidak akan berjalan efektif dan akan selalu dipenuhi kepentingan - kepentingan politik. Ini pula yang selalu menjadi permasalahan di Indonesia.


[1] Franz Magnis-Suseno “Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern 
Daftar Pustaka
Machiavelli, Niccolo. 2003. Politik Kerakyatan. Jakarta : KP Gramedia
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Prof. Dr. Damsar, MA. 2006. Sosiologi Uang. Padang : Andalas University Press
Saragih, Simon. 2008. Bangkitnya Rusia : Peran Putin dan Eks KGB. Jakarta : Kompas
Suseno, Franz-Magnis. 2003. Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Sun, Yan. 2005. Corruption, Growth, and Reform The Chinese Enigma.London : British Library
Sumber Lain
http://news.okezone.com/read/2011/06/17/339/469715/mahfud-sistem-politik-indonesia-oligarki
http://www.antaranews.com/berita/1267273859/indonesia-bisa-adopsi-pemberantasan-korupsi-di-china























Comments

Popular posts from this blog

Tak Ada Beda, Karena Mencintai dan Mengimani Sama Sesaknya

Tulisan ini adalah kerinduanku atasmu. Sahabat lamaku, yang juga membesarkanku dengan penuh peluh, kasih dan cinta. Kita memang tidak banyak bicara, tetapi setiap apa yang kita bicarakan selalu lekat dalam ingatanku. Tentang cinta, tentang mati, tentang hidup, tentang kerja, tentang menghantam prosa langitan dan Tuhan. Aku belajar darimu tentang kerelaan. Sengaja tidak pergi ke gereja karena ada hati yang perlu dijaga. Seisi rumah kita memang tidak tahu, kau pernah menangis pilu dihadapanku. Hanya kita berdua saat itu. Saat itu pula kau mengizinkan aku untuk mengejar cita dan baktiku pada telapak yang bersurga. Dalam setiap doa, aku hanya berharap bahwa Tuhan menyampaikan isi hatiku kepadamu. Meskipun kita telah berbeda jalan dan kepercayaan. Cuma satu kepercayaan yang sama dari kita bahwa Internationale pasti di dunia. Apa bentuknya, kita hanya sama-sama tertawa, percaya saja !  Katamu, mencintai ibu adalah keputusan terbesar dalam hidup. Kau telah memenangkan hatinya, hingga...

Pindah Agama, Patah Hatiku Tetap Sama

Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi, tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari” Pengkotbah 1:9 Ayat tersebut sebagai penggambaran awal bahwa tulisan ini dibuat sebagai hal yang pernah ada dan dibicarakan. Tema yang bagi sebagaian orang telah usang untuk dibicarakan. Di tengah tuntutan bertahan hidup dalam mode produksi dan akumulasi primitif. Overproduksi yang dinanti-nanti tak kunjung hadir sebagai juru selamat kelas pekerja. Hingga milliaran kelas pekerja memilih terbuai dalam dogma. Karena hakikat bekerja bukan lagi perwujudan eksistensi manusia, melainkan hanya insting untuk bertahan hidup semata uang. Sebagai orang yang tumbuh dalam keluarga dengan berbedaan keyakinan selama puluhan tahun. Perdebatan tentang agama dan Tuhan merupakan makanan sehari-hari. Agama menjadi alat politik bagi kami untuk saling mengintimidasi atas nama surga dan neraka. Tuhan menjadi alat untuk meyakinkan  kami bahwa semua akan baik-baik saja, sekalipu...

Purwokerto, Beberapa Yang Tersisa Masih Punya Daya

Sudah satu bulan, tepatnya setelah aku memutuskan untuk kembali dari perantauan. Sekalipun hidupku diperantauan sangat singkat. Tetapi buatku lebih dari cukup mendapat pelajaran dari sana. Karenapun aku tidak membayangkan akan menghabiskan separuh hidupku di kota semacam Jakarta. Kota yang menurutku sangat mekanis dan teknis. Semua yang dikerjakan seolah-olah untuk membangun peradaban. Tetapi ku pikir hanya sebuah kota yang berkejar-kejaran dengan sibuknya ambisi setiap manusia agar tidak tertinggal dan tergilas roda ekonomi. Di sana aku melihat, bagaimana negara bekerja dengan sangat massif menancapkan kakinya bersama segelintir orang. Sisanya, aku hanya melihat orang yang bertahan hidup. Seperti dengan kerja berburu dan meramu pada masa lalu. Hari ini, mereka mengenal sebuah konsep kerja namun, dengan bentuk yang berbeda. Sisanya, aku bahkan tidak peduli. Kecuali gubug-gubug kumuh di tengah gedung pencakar langit. Kampung nelayan yang terbentuk dari timbunan cangkang kerang hijau...