Skip to main content

Development of Port Kuala Tanjung as The Biggest Port in Sumatera Island


Development of Port Kuala Tanjung as The
Biggest Port in Sumatera Island
Potrait of Social, Environmental and Economic
Impacts for Small-Scale Fishers 

Pembangunan di sektor maritim terus berlanjut dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Berbagai mulai dikembangkan menjadi pusat - pusat baru di Jakarta pertumbuhan ekonomi. Percepatan infrastruktur pengembangan adalah kunci utama dalam agenda ini. Beberapa area telah ditetapkan sebagai Ekonomi Khusus Zona (KEK). Pemerintah sekarang telah berdiri 11 KEK, yaitu zona ekonomi khusus Maloy Batuta Trans Kalimantan, Sorong, Morotai, Bitung, Palu, Mandalika, Tanjung Lesung, Tanjung Kelayang, Tanjung Api-Api, Sei Mangkei, Arun Lhokseumawe. KEK adalah bagian dari proyek PT infrastruktur ekonomi yang akan mendorong investasi agar lebih tersebar di seluruh Indonesia kepulauan.

Politik kebijakan pemerintah berfokus pada pengembangan sektor kelautan diwujudkan melalui serangkaian kebijakan ambisius, berani dan optimis paket. Karakteristik Indonesia, yaitu sangat dekat dengan sektor kelautan, merupakan sumber kepercayaan pemerintah dalam mewujudkan manifestasi dari negara maritim. Apalagi realisasi dari janji politik untuk mengakhiri marginalisasi kehidupan maritim selama lebih dari empat dekade. Karena itu, tidak mengherankan bahwa wacana timbal balik didalilkan sebagai dasar kebijakan. Akhir dari ini wacana ini tentu bisa ditebak, yaitu marginalisasi sektor kelautan yang menghasilkan dampak buruk endemik pada kesejahteraan pesisir masyarakat terutama nelayan skala kecil yang memenuhi mata pencaharian mereka dari laut dan sumber daya perairan (Hamid, 2017).

Dalam kerangka teori, visi Presiden Sumbu maritim Jokowi digerakkan dengan tujuan
meningkatkan kapasitas masyarakat pesisir. Ini didukung oleh tiga poin utama menjadi Jokowi misi, yaitu: Pertama, untuk mewujudkan keamanan nasional yang mampu mempertahankan kedaulatan daerah, untuk mempertahankan kemandirian ekonomi dengan mengamankan kelautan sumber daya, dan untuk mencerminkan Indonesia sebagai negara kepulauan bangsa. Kedua, mewujudkan orang asing yang bebas dan aktif kebijakan dalam memperkuat identitas sebagai bangsa maritim. Ketiga, mewujudkan Indonesia sebagai negara yang mandiri, maju, kuat dan berdasarkan kepentingan nasional negara maritim. Visi, yang didasarkan pada pembangunan infrastruktur, adalah langkah pertama menuju mengembangkan sektor kelautan Indonesia. Pembangunan infrastruktur bertujuan untuk meningkatkan konektivitas antar wilayah secara alami akan memiliki dampak ganda pada dinamika arus laut barang dan jasa dan menumbuhkan pusat ekonomi baru yang diharapkan mencapai tujuan akhirnya (Hamid, 2017).

Selain itu Jokowi memerintahkan akselerasi 225 proyek strategis nasional, salah satunya adalah Pelabuhan Tanjung Pinang Kuala Tanjung. Sebagai proyek strategis nasional, itu menarik perhatian yang signifikan baik dari regional maupun internasional. Akibatnya, perusahaan patungan (JV) antara perusahaan milik negara Indonesia, pelabuhan perusahaan "Pelindo 1," dan Otoritas Port Rotterdam (PoRA) didirikan. Adapun mereka terlibat dalam kolaborasi, yaitu pusat pemerintah, pemerintah daerah, dan lokal masyarakat yang terlibat dalam proses perencanaan pelabuhan, dengan sektor swasta bergabung dalam diskusi di tahap akhir perencanaan.
Meski secara teoritis visi poros maritim bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan martabat nelayan skala kecil, implementasinya berpotensi menjauh dari harapan yang dimaksudkan. Itu sangat masuk akal karena pembangunan infrastruktur cenderung untuk menjaga eksternalitas negatif bagi masyarakat.

Modernisasi pelabuhan, misalnya, walaupun bisa berupa stimulan untuk distribusi produk kelautan. Namun dampaknya bisa meminggirkan nelayan skala kecil. Bahkan,
Peningkatan infrastruktur selalu sama formula, yaitu munculnya pemain ekonomi. Sebagai pemilik sah sumber daya kelautan di dalamnya wilayah, nelayan skala kecil harus menjadi yang terbesar subaltern dari kehadiran infrastruktur pelabuhan. Namun, jika ternyata itu individu atau perusahaan yang memiliki modal dan akses ke kekuasaan harus bersaing, fenomena ekonomi sewa sangat mungkin terjadi.

Comments

Popular posts from this blog

Tak Ada Beda, Karena Mencintai dan Mengimani Sama Sesaknya

Tulisan ini adalah kerinduanku atasmu. Sahabat lamaku, yang juga membesarkanku dengan penuh peluh, kasih dan cinta. Kita memang tidak banyak bicara, tetapi setiap apa yang kita bicarakan selalu lekat dalam ingatanku. Tentang cinta, tentang mati, tentang hidup, tentang kerja, tentang menghantam prosa langitan dan Tuhan. Aku belajar darimu tentang kerelaan. Sengaja tidak pergi ke gereja karena ada hati yang perlu dijaga. Seisi rumah kita memang tidak tahu, kau pernah menangis pilu dihadapanku. Hanya kita berdua saat itu. Saat itu pula kau mengizinkan aku untuk mengejar cita dan baktiku pada telapak yang bersurga. Dalam setiap doa, aku hanya berharap bahwa Tuhan menyampaikan isi hatiku kepadamu. Meskipun kita telah berbeda jalan dan kepercayaan. Cuma satu kepercayaan yang sama dari kita bahwa Internationale pasti di dunia. Apa bentuknya, kita hanya sama-sama tertawa, percaya saja !  Katamu, mencintai ibu adalah keputusan terbesar dalam hidup. Kau telah memenangkan hatinya, hingga...

Pindah Agama, Patah Hatiku Tetap Sama

Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi, tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari” Pengkotbah 1:9 Ayat tersebut sebagai penggambaran awal bahwa tulisan ini dibuat sebagai hal yang pernah ada dan dibicarakan. Tema yang bagi sebagaian orang telah usang untuk dibicarakan. Di tengah tuntutan bertahan hidup dalam mode produksi dan akumulasi primitif. Overproduksi yang dinanti-nanti tak kunjung hadir sebagai juru selamat kelas pekerja. Hingga milliaran kelas pekerja memilih terbuai dalam dogma. Karena hakikat bekerja bukan lagi perwujudan eksistensi manusia, melainkan hanya insting untuk bertahan hidup semata uang. Sebagai orang yang tumbuh dalam keluarga dengan berbedaan keyakinan selama puluhan tahun. Perdebatan tentang agama dan Tuhan merupakan makanan sehari-hari. Agama menjadi alat politik bagi kami untuk saling mengintimidasi atas nama surga dan neraka. Tuhan menjadi alat untuk meyakinkan  kami bahwa semua akan baik-baik saja, sekalipu...

Purwokerto, Beberapa Yang Tersisa Masih Punya Daya

Sudah satu bulan, tepatnya setelah aku memutuskan untuk kembali dari perantauan. Sekalipun hidupku diperantauan sangat singkat. Tetapi buatku lebih dari cukup mendapat pelajaran dari sana. Karenapun aku tidak membayangkan akan menghabiskan separuh hidupku di kota semacam Jakarta. Kota yang menurutku sangat mekanis dan teknis. Semua yang dikerjakan seolah-olah untuk membangun peradaban. Tetapi ku pikir hanya sebuah kota yang berkejar-kejaran dengan sibuknya ambisi setiap manusia agar tidak tertinggal dan tergilas roda ekonomi. Di sana aku melihat, bagaimana negara bekerja dengan sangat massif menancapkan kakinya bersama segelintir orang. Sisanya, aku hanya melihat orang yang bertahan hidup. Seperti dengan kerja berburu dan meramu pada masa lalu. Hari ini, mereka mengenal sebuah konsep kerja namun, dengan bentuk yang berbeda. Sisanya, aku bahkan tidak peduli. Kecuali gubug-gubug kumuh di tengah gedung pencakar langit. Kampung nelayan yang terbentuk dari timbunan cangkang kerang hijau...