Skip to main content

Agama dalam Bayang-Bayang Teror

Sepanjang tahun kita telah melihat dan mengalami berbagai kejadian terror. Sejak tahun 2010, telah terjadi konflik berlatarbelakang agama, baik antar maupun inter. Mulai dari pelarangan dan sengketan pendirian tempat ibadah, penyerangan komunitas Ahamadiyah dan Syiah, penusukan seorang pendeta di Bekasi dan pemukulan Ulama. Belum cukup sampai disitu, Agama juga direpresentasikan dalam beberapa aksi terror melalui tindakan pengeboman yang mengakibatkan banyak korban.

Berbagai reaksi kecaman muncul dari masyarakat. Alih-alih menutupi tindakan kekerasan dan terror yang terjadi. Beberapa pihak menyebutkan tindakan itu muncul karena terdapat oknum yang memanfaatkan agama untuk kepentingan politik maupun golongan tertentu. Mereka berdalih bahwa agama tidak pernah menganjurkan kekerasan dan pembunuhan. Sebaliknya, agama mengajarkan manusia untuk hidup rukun, damai, saling menghormati dan menganjurkan kebaikan.

Namun, sejarah telah membuktikan bahwa agama selalu dekat dengan konflik dan kekerasan. Perang salib yang melibatkan dua benua telah berlangsung sejak 1090an, Perseteruan antara Katolik dan Protestan di Eropa pada abad ke 17, Konflik Hindu dan Islam antara Pakistan dan India, Konflik Budha dan Islam di Myanmar, serta banyak konflik lainnya yang memang berlatarbelakang agama. Hal ini dapat menjadi keretanan agama untuk selalu masuk dalam pusaran konflik dan kekerasan. 

Perlu diakui bahwa agama terbentuk melalui proses sejarah yang panjang. Agama saling bertemu dan bercampur dengan adat dan budaya yang ada di masyarakat. Kemudian, agama muncul sebagai realitas sosial yang telah diberi bentuk melalui aktifitas dan kesadaran manusia. Sehingga, agama sebagai realitas sosial tidak bisa dipisahkan dari manusia. Agama memiliki makna yang luas mulai dari gagasan, pengalaman hingga praktik yang menjelma menjadi tindakan sosial. 

Beberapa fenomena yang terjadi menunjukan pula bahwa tindakan kekerasan dan terror telah dimasuki semacam mekanisme ideologi didalamnya. Menurut Haryatmoko, Dalam hal ini ajaran agama kemudian dijadikan sebagai landasan dari ideologi tersebut. Hal ini dikarenakan semua upaya untuk memahami secara sistematis tindakan sosial tidak bisa dilepaskan dari fenomena ideologi.

Tafsir Kekerasan Sebagai Bentuk Dominasi

Agama dalam kerangka ideologi menwujud dalam bentuk tindakan. Menurut Haryatmoko, Suatu kelompok sosial masyarakat cenderung ingin menunjukkan identitasnya atau merepresentasikan dirinya. Alasan kecenderungan ini karena pada dasarnya tindakan yang bermakna akan selalu memperhitungkan reaksi orang lain atau kelompok lain, entah apakah reaksi itu melawan, menyumbangkan sesuatu atau mendukungnya.

Agama menjadi menjadi rentan dimanfaatkan dan dieksploitasi untuk kepentingan kelompok maupun kekuasaan. Kejadian terror bom bisa berarti upaya kelompok tertentu untuk menanamkan dominasinya di dalam masyarakat. Hal itu juga tidak lepas dari  dari hal-hal yang bernuansa politis yang cenderung disertai dengan tindak kejahatan. Hal tersebut juga dapat disebabkan kondisi struktur sosial politik oleh pemegang kekuasaan yang juga melakukan kekerasan secara sewenang-wenang atas dasar monopoli legitimasi. 

Teror muncul dalam kondisi struktur sosial politik yang telah berulang kali mepertontonkan praktik kekerasan. Hal ini nampak dalam perilaku politik yang menggunakan agama sebagai alat kepentingan politik. Para pemegang legitimasi atas agama terus memproduksi cara pandang oposisi biner dan vis a vis yang memunculkan tindakan menafikan atau menyalahkan keyakinan dan keimanan yang lain.

Agama sendiri dipahami oleh Bourdieu sebagai sebuah gagasan yang memberi kekuatan yang memobilisasi. Sehingga dalam hal ini, sangat memliki potensi untuk melakukan tindakan kekerasan sebagai sebuah alat dominasi politik keagamaan. Dalam kekuatannya memobilisasi agama menjelma menjadi hasrat Mimesis atau sebuah proses peniruan melalui praktik menafikan maupun tindakan kekerasan, Hasrat mimesis inilah yang kemudian banyak muncul dalam beberapa tindakan masyarakat. Tanpa sadar, tindakan-tindakan tersebut menjadi pemicu aksi terror yang terjadi. 

Radikalisme Agama dan Teror

Menurut J. Sémelin dalam Haryatmoko, menjelaskan bahwa tindakan kekerasan teroris bisa dilihat sebagai proses mental, yaitu gerak perubahan mulai dara cara melihat ‘yang lain’, lalu menstigmatisasi, merendahkan, menghancurkan dan akhirnya membunuh. Pertanyaannya, bagimana agama bisa menjadi bagian dari terror? Bagaimana Tuhan menjadi representasi atas terjadinya kekerasan?

Menurut Haryatmoko, ada tiga mekanisme pokok yang menentukan keterkaitan agama dengan kekerasan. Pertama, pertama, agama sebagai kerangka penafsiran religius terhadap hubungan sosial (fungsi idiologis); agama menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan sosial. Sejauh mana suatu tatanan sosial dianggap sebagai representasi religious yang dikehendaki Tuhan. kedua, agama sebagai faktor identitas; dapat didefinisikan sebagai kepemilikan pada kelompok sosial tertentu. Kepemilikan ini memberikan stabilitas sosial, status, pandangan hidup, cara berpikir serta ethos, dan ketiga, agama sebagai legitimasi etis hubungan sosial; berbeda dengan agama sebagai kerangka penafsiran. Mekanisme yang ketiga ini bukan sakralitas hubungan sosial, tetapi suatu tatanan sosial mendapat dukungan dari agama. Dalam konteks ini, formalisme agama menjadi penting di dalam penghayatan karena terkait dengan masalah pengakuan sosial dan kebanggan pada kepemilikan kelompok. Maka diperlukan suatu penamaan sistem sosial, ekonomi dan budaya dengan jargon-jargon agama yang semakin meningkatkan fanatisme pemeluknya.

Dalam konteks, tindakan teroris, ketiga mekanisme tersebut, bagi sebagian golongan kemudian ditafsirkan dengan menyamarkannya dalam bentuk pembebasan untuk tujuan pertobatan dan menciptakan kondisi yang sesuai dengan ajaran agama. Agama menjelma menjadi teologi yang mewujud sebagai kehendak Tuhan melalui kekerasan. Teologi ini membentuk sistem keyakinan yang sangat rentan dengan konflik. Karena, pencarian kebenaran akan diwarnai dengan kekerasan, dimana Tuhan menjadi dalih atas semua konflik dan pembenaran. Ditambah, tindakan kekerasan merasa dibenarkan oleh Kitab Suci, bahkan menjadi bagian dari keimanan.

Bahaya yang mengancam adalah ketika agama menjelma sebagai ideologi. Sementara, terror merupakan idelogi dari terorisme. Akhirnya, agama menjadi pembenaran terhadap semua bentuk kejahatan atas nama ideologi. Ideologi memang memiliki kecenderungan untuk memelihara ilusi tentang kesatuan totaliter (identitas murni).  ilusi soal indentitas murni ini dapat mendorong tindakan mengeleminasi semua yang mengancam kemurnian identitas.

H. Rauschning mengatakan, terorisme dengan relawan bom bunuh diri membuat terobosan psikologis karena membuat takut penguasa. Terorisme adalah bentuk nihilisme karena tiga ciri khas: matinya kebebasan, dominasi kekerasan dan pemikiran yang diperbudak. Ketiga ciri itu akan menjamin radikalitas pengikutnya.

Sementara, dalam kondisi ketidakpastian global yang melahirkan pengangguran dan ketidakadilan. Radikalisme agama mampu menawarkan sebuah kepastian dalam bentuk keadilan ekonomi dan persaudaraan melalui revolusi moral. Setidaknya, dengan cara ini radikalisme mampu memberikan identitas pasti. Tidak heran, jika dalam ajakan radikalisme agama, hal yang ditawarkan adalah hidup tanpa perlu memikirkan ekonomi (tawaran gaji tinggi, rumah, istri, dll). Sehingga pengikutnya hanya perlu berfokus pada penguatan keimanan untuk mencapai tujuan agama. Tawaran kepastian itu menjadi kunci sukses untuk menarik pengikut menuju radikalisme agama.

Kembali mengutip tulisan Haryatmoko, Kepastian itu muncul dari visi manikean bahwa dunia hanya terdiri dua kelompok, yaitu baik dan jahat (agama pilihan dan musuh). Kepastian diberikan kepada pengikut agama pilihan. Janji akan masa depan yang baik dan tanpa kesulitan dikaitkan dengan pemisahan baik dan jahat. Pemisahan ini, meminjam istilah dari Yasraf Amir Piliang, merupakan bentuk demonisasi atau sebuah hutan rimba kebencian. Dalam pandangan Yasraf, demonisasi muncul dari politik eksplosi, yaitu, peledakan ke luar yang menghasilkan pecahan atau entitas, khususnya dengan diangkatnya isu genealogis perbedaan, identitas, suku, agama, bahasa maupun adat. Pemisahan ini membenarkan tindakan negasi, kekerasan hingga pembunuhan melalui terror. Karena musuh adalah negasi yang akan selalu bertentangan dengan agama pilihan. Maka, tidak mungkin ada perdamaian dengan orang-orang bukan pemeluk agama pilihan.

Dalam kasus terror bom yang terjadi belakangan ini, menurut beberapa pengamat mengatakan, pelaku terror bom diduga memiliki keterkaitan dengan ISIS. Dikatakan ISIS memiliki tujuan untuk mendirikan daulah (negara) dan hanya percaya negara merekalah satu-satunya yang sah di mata Tuhan. Jadi hanya ISIS yang berhak mendirikan negara sementara yang lainnya dianggap penyimpangan dan harus dilenyapkan, Jika ini benar, maka relevan dengan mekanisme dalam kasus ajaran radikalisme agama melalui terror, yaitu; selalu ada mekanisme penunjukan kambing hitam, radikalisasi pertenangan dan pembunuhan (pemurnian kelompok atau penghancuran musuh). Dan yang penting juga, kondisi krisis dapat menciptakan situasi yang kondusif bagi tumbuhnya radikalisme agama.

Comments

Popular posts from this blog

Tak Ada Beda, Karena Mencintai dan Mengimani Sama Sesaknya

Tulisan ini adalah kerinduanku atasmu. Sahabat lamaku, yang juga membesarkanku dengan penuh peluh, kasih dan cinta. Kita memang tidak banyak bicara, tetapi setiap apa yang kita bicarakan selalu lekat dalam ingatanku. Tentang cinta, tentang mati, tentang hidup, tentang kerja, tentang menghantam prosa langitan dan Tuhan. Aku belajar darimu tentang kerelaan. Sengaja tidak pergi ke gereja karena ada hati yang perlu dijaga. Seisi rumah kita memang tidak tahu, kau pernah menangis pilu dihadapanku. Hanya kita berdua saat itu. Saat itu pula kau mengizinkan aku untuk mengejar cita dan baktiku pada telapak yang bersurga. Dalam setiap doa, aku hanya berharap bahwa Tuhan menyampaikan isi hatiku kepadamu. Meskipun kita telah berbeda jalan dan kepercayaan. Cuma satu kepercayaan yang sama dari kita bahwa Internationale pasti di dunia. Apa bentuknya, kita hanya sama-sama tertawa, percaya saja !  Katamu, mencintai ibu adalah keputusan terbesar dalam hidup. Kau telah memenangkan hatinya, hingga...

Pindah Agama, Patah Hatiku Tetap Sama

Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi, tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari” Pengkotbah 1:9 Ayat tersebut sebagai penggambaran awal bahwa tulisan ini dibuat sebagai hal yang pernah ada dan dibicarakan. Tema yang bagi sebagaian orang telah usang untuk dibicarakan. Di tengah tuntutan bertahan hidup dalam mode produksi dan akumulasi primitif. Overproduksi yang dinanti-nanti tak kunjung hadir sebagai juru selamat kelas pekerja. Hingga milliaran kelas pekerja memilih terbuai dalam dogma. Karena hakikat bekerja bukan lagi perwujudan eksistensi manusia, melainkan hanya insting untuk bertahan hidup semata uang. Sebagai orang yang tumbuh dalam keluarga dengan berbedaan keyakinan selama puluhan tahun. Perdebatan tentang agama dan Tuhan merupakan makanan sehari-hari. Agama menjadi alat politik bagi kami untuk saling mengintimidasi atas nama surga dan neraka. Tuhan menjadi alat untuk meyakinkan  kami bahwa semua akan baik-baik saja, sekalipu...

Purwokerto, Beberapa Yang Tersisa Masih Punya Daya

Sudah satu bulan, tepatnya setelah aku memutuskan untuk kembali dari perantauan. Sekalipun hidupku diperantauan sangat singkat. Tetapi buatku lebih dari cukup mendapat pelajaran dari sana. Karenapun aku tidak membayangkan akan menghabiskan separuh hidupku di kota semacam Jakarta. Kota yang menurutku sangat mekanis dan teknis. Semua yang dikerjakan seolah-olah untuk membangun peradaban. Tetapi ku pikir hanya sebuah kota yang berkejar-kejaran dengan sibuknya ambisi setiap manusia agar tidak tertinggal dan tergilas roda ekonomi. Di sana aku melihat, bagaimana negara bekerja dengan sangat massif menancapkan kakinya bersama segelintir orang. Sisanya, aku hanya melihat orang yang bertahan hidup. Seperti dengan kerja berburu dan meramu pada masa lalu. Hari ini, mereka mengenal sebuah konsep kerja namun, dengan bentuk yang berbeda. Sisanya, aku bahkan tidak peduli. Kecuali gubug-gubug kumuh di tengah gedung pencakar langit. Kampung nelayan yang terbentuk dari timbunan cangkang kerang hijau...