Identitas Agama Sebagai Agama Tuhan, Untuk Mewujudkan Toleransi dan Kebebasan Beragama
Kebebasan beragama di Negara kita mengacu pada UUD 1945 pasal 29 ayat 2. Pasal ini menyatakan bahwa setiap warga diberi kemerdekaan atau kebebasan untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.Pasal 28e ayat 1 UUD 1945 perubahan kedua mengakui adanya hak setiap warga negara atas kebebasan beragama atau kepercayaan, demikian juga Pasal 28i ayat 1 UUD 1945 perubahan kedua, menjelaskan hak beragama dan berkepercayaan adalah HAM yang tidak bisa dikurangi dan dibatasi dalam kondisi apapun. Bahkan Pasal 28i ayat 4 UUD 1945 perubahan kedua, mempertegas kewajiban negara terutama pemerintah untuk melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi HAM.
Kewajiban negara melindungi dan memenuhi hak atas kebebasan beragama dan kepercayaan mengandung pengertian, bahwa negara tidak mempunyai wewenang mencampuri urusan agama dan kepercayaan setiap warga negaranya. Sebaliknya, negara harus memberikan perlindungan terhadap setiap warga negaranya untuk melaksanakan ibadah keagamaan/ kepercayaan.
Sebenarnya dalam hal ini jelas terlihat secara institusional, jelas terlihat bahwa kebebasan akan beragama dijamin oleh negara. Namun dalam hal ini mari kita melihat lebih dalam dari makna-makna akan sebuah agama itu sendiri. Karena hingga saat ini baik secara undang-undang telah diatur, tetapi tidak pula menunjukan adanya hal yang berkaitan dengan kebebasan beragama.
Terlihat oleh kasus-kasus yang terjadi di Indonesia. Rumadi (Wahid Institute) mencatat 232 kasus pelanggaran HAM sepanjang Januari hingga November 2008. Kasus pertama dan tertinggi adalah, kekerasan berbasis agama sebanyak 55 kasus. Kedua, penyesatan agama sebanyak 50 kasus. Ketiga, hubungan antarumat beragama sebanyak 29 kasus. Sedangkan bentuk pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terdapat 280 kasus. Kasus pertama dan tertinggi adalah, penyesatan agama sebanyak 43 kasus. Kedua, penyerangan fisik dan penganiayaan sebanyak 35 kasus. Ketiga, pembatasan kebebasan berekspresi sebanyak 27 kasus (wordpress.com/2008/12/19/).
Lalu sebenarnya apa permasalahan yang tetap saja membuat konflik ini terjadi?. Menurut asumsi saya disini, saya melihat hal yang lebih dalam lagi terhadap agama. Saat ini agama dimaknai sebagai identitas tunggal untuk melanggengkan klaim-klaim sebuah kebenaran menurut agama-agama itu sendiri. Akhirnya ketika manusia mulai mengkotak-kotakkan identitas itu, secara tidak langsung akan memunculkan sebuah bentuk solidaritas organik yang pada akhirnya bergerak atas dasar sentimen emosional. Hal inilah yang akhirnya terjadi di Indonesia, ketika penghakiman-penghakiman atas agama sehingga memicu konflikpun terjadi. Karena memang lemahnya pemahaman rasio dan begitu kentalnya solidaritas antar umat beragama dalam konteks ini agama dimaknai sebagai identitas tunggal dan bergerak melalui sentimen emosional. Dalam banyak literaturpun banyak sekali yang saat ini menyerang tentang pelekatan identitas-identitas yang membuat manusia nampak menjadi partikular kecil. Sehingga seakan-akan antar manusia tidak memiliki hubungan sebagai identitas universal sebagai mahluk ciptaan Tuhan.
Disinilah pentingnya identitas untuk menciptakan sebuah klaim-klaim atas nama kebenaran menurut agama mereka masing-masing hingga pada akhirnya memicu konflik. Maka perlulah sebuah rekonstruksi tentang pemahaman identitas itu sendiri. Menurut Amartya Sen dalam bukunya Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas, begitu sangat menentang tesis Samuel Huntington yang menulis buku Benturan Antar Peradaban. Karena menurutnya (Amartya Sen) begitu naifnya ketika terjadi pengkotak-kotakan dalam tubuh manusia itu sendiri karena letak geografis, agama, ras, dll.
Padahal masih banyak indentitas yang sebenarnya dapat menyatukan manusia tanpa harus melihat entitas manusia sebagai kristen, islam, hindhu, budha, dll. Ini merupakan suatu titik terang untuk meruntuhkan mitos-mitos tentang identitas yang memecah belah umat manusia pada umumnya.
Perlu adanya sebuah rekonstruksi tentang identitas, terutama identitas agama sebagai wujud dari bentuk toleransi dan kebebasan dalam beragama yang nantinya akan mendukung negara melalui penetapan undang-udangnya secara lebih riil. Menawarkan konsep ini memang memerlukan proses yang cukup lama, namun di era dunia modern ini masih sangat mungkin terjadinya pluralisme di masyarakat Indonesia.
Melalui lembaga-lembaga non-formal, informal, dan formal dapat dilakukan sebuah rekonstruksi ini. pentingnya melihat manusia sebagai identias universal untuk menciptakan masyarakat yang damai akan menjadikan tonggak penting menciptakan pluralisme. Karena pada hakikatnya manusia ingin menikmati sebuah hidup yang damai, tenang, tentram di dalam dunia. Justru ketika identitas-identitas atas nama agama itu semakin dilekatkan akan membuat konflik yang berkepanjangan. Apalagi hingga mencapai justifikasi terhadap agama lain atas nama kebenaran agama tertentu yang sebenarnya itu secara tidak langsung dibelakang hal itu karena adanya pelekatan identitas tunggal dan menafikan manusia memiliki identitas universal yang bisa menyatukan.
Rekonstruksi Identitas Agama sebagai Agama Tuhan
Tak penting pada akhirnya melihat agama sebagai identitas karena pelabelan oleh manusia itu sendiri, secara arogan manusia dapat mengklaim kebenaran melalui identitas agama. Itulah akhirnya pentingnya mencari celah untuk melihat agama saat ini sebagai agama yang turun melalui wahyu Tuhan (dalam konteks ini agama : Islam, Kristen, Khatolik, Yahudi, Hindhu, Budhu, dll). Jadi ketika merubah persepsi manusia tentang agama sebagai perwujudan Tuhan melalui para nabi-nabi yang diturunkan untuk menterjemahkan bahasa Tuhan.
Disini nabi dimaknai sebagai manusia yang dapat menterjemahkan bahasa Tuhan kepada sesamanya umat manusia. Serta meruntuhkan pula klaim kebenaran melalui pendekatan epistemologi, bahwa manusia itu tidak seperti nabi yang dapat dengan fasih menterjemahkan kalimat-kalimat Tuhan secara tepat. Karena jelas nabi adalah utusan Tuhan sebagai pemimpin umat, sedangkan sekarang manusia hanya sebagai umat yang mencoba memfungsikan dirinya seperti nabi dengan menafsirkan kalimat-kalimat Tuhan. Jelas nantinya akan banyak kecacatan dalam klaim kebenaran yang dilakukan oleh manusia pada umumnya. Inipun akhirnya meruntuhkan anggapan bahwa aliran x atau y dapat masuk surga atau neraka menurut persepsi manusia sendiri.
Celah inilah yang coba dilakukan untuk merekontruksi agama sebagai identitas tunggal berdasar sentimen emosional, dialihkan agama sebagai wahyu Tuhan yang sempurna, oleh karena itu manusia tidak dapat dengan sempurna menafsirkan agama hingga mencapai klaim kebenaran dan digunakan untuk menyerang dan menjustifikan agama lain. Serta klaim kebenaran yang saat ini ada di dunia dan dalam bahasa manusia dimaknai sebagai usaha mencari proses kebenaran hakiki menurut Tuhan itu sendiri. Jadi konflik-konflik yang saat ini muncul itu sebenarnya hanya berbeda pada tingkat pemaknaan akan sebuah agama, dan wajar pula akhirnya banyak bermunculan agama dengan bermacam-macam aliran tidak dapat dielakkan. Karena manusialah yang pada hakikatnya tidak memiliki kesempurnaan untuk menafsirkan kebenaran Tuhan sebagai kebenaran multak. Sedangkan manusia hanya bisa menciptakan kemungkinan-kemungkinan menurut kebenaran masing-masing manusia (aliran agama dan agama) yang bersifat relative.
Meskipun mencoba menafisirkan melalui kitab-kitab suci, hadits, dll. Karena makna dalam kalimat itupun mengandung makna yang tidak tersirat sebagai perwujudan Tuhan, sehingga sulit untuk manusia biasa menafsirkan itu. Maka itulah disini relevan, ketika kita melihat nabi sebagai orang yang dapat menjembatani manusia (umat) secara umum kepada Tuhan.
Kemudian agama jika dilihat sebagai agama yang berasal dari Tuhan yang 1, dapat pula merujuk pada nilai-nilai keanggungan Tuhan. Seperti rasa cinta, damai, kasih, sayang, toleransi, menghormati, dll. Pola inilah yang juga dapat meruntuhkan bahwa agama x adalah suka perang, agama y adalah suka berzina ataupun yang lain. Karena kita melihat agama sebagai entitas yang bersatu dengan pencipta-NYA sediri.
Secara lugas menunjukan agama sebagai perwujudan dari nilai-nilai kebaikan Tuhan yang coba diwujudkan untuk menciptakan dunia yang harmonis. Merujuk pada yang di tuliskan Al-Quran “Dengan demikian, tak ada alasan bagi seorang Muslim membenci orang lain karena bukan penganut agama Islam. Membiarkan orang lain (al-akhar) tetap memeluk agama non-Islam adalah bagian dari perintah Islam itu sendiri.
Bahkan toleransi yang ditunjukkan Islam demikian kuat sehingga umat Islam dilarang memaki tuhan-tuhan yang disembah orang-orang Musyrik”. [QS. Al-An ‘am/6:108]. Hal. 216.
Di dalam Al-Quran (kitab suci umat islam, dan islam dimaknai sebagai identitas) jelas tertulis pengakuan terhadap agama lain. Pertama, pengakuan terhadap eksistensi dan kebenaran kitab-kitab sebelum Islam. Taurat dan Injil, misalnya, disebut al-Qur’an sebagai petunjuk (hudan) dan penerang (nar). [QS. Al-Maidah/5:44, 46-47]. Melalui ayat-ayat dalam al-Qur’an ini jga ditegaskan bahwa Islam memberikan pengakuan terhadap umat Yahudi dan Nashrani; mereka cukup menjadikan kitab suci masing-masing sebagai sandaran moral mereka. Ditegaskan pula, sekiranya mereka berpaling dari kitab sucinya, mereka adalah kafir dan fasik. Hal. 241-242. Kedua, pengakuan terhadap para pembawa agama sebelumnya seperti Musa dan Isa al-Masih. Sebagaimana perintah mengimani kitab-kitab wahyu, umat Islam diharuskan mengimani para nabi dan rasul, minimal 25 rasul, karena jumlah nabi dan rasul diperkirakan mencapai 124.000 orang nabi dan 315 orang rasul.Ketiga, secara eksplisit al-Qur’an menegaskan bahwa siapa saja – Yahudi, Nashrani, Shabi’in, dll – yang menyatakan hanya beriman kepada Allah, percaya pada Hari Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah disia-siakan oleh Allah. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal atas keimanan dan jerih payahnya. [QS. Al-Maidah/5: 69 dan al-Baqarah/2: 62]. Ketiga, al-Qur’an membolehkan umat Islam berteman dengan umat agama lain, selama umat agama lain itu tak memusuhi dan tak mengusir dari tempat tinggalnya. Sekiranya mereka melakukan permusuhan, maka wajar kalau umat islam diperintahkan melakukan pertahanan diri [QS. Al-Mumtahanah/60:7-9]. Hal. 244-250.
Maka dari itu, pentingnya memaknai agama sebagai identitas yang bersatu dengan pencipta-NYA menjadi relevan untuk menciptakan sebuah perwujudan toleransi dan kebebasan antar beragama. Bukan melihat agama sebagai identitas yang dilekatkan oleh manusia sendiri, sedang manusia memiliki banyak kecacatan dalam prosesnya di dunia untuk menemukan kebenaran Tuhan yang bersifat mutlak. Pendekatan rekonstruksi identitas ini pula dapat menjadi salah satu cara untuk meredam konflik yang saat ini terjadi dalam kancah dunia secara umum dan di Indonesia pada khususnya.
Karena manusia akan lebih senang melihat dunia yang ditinggalinya terlihat harmonis, tentram, saling menghargai dll. Sebagai perwujudan Tuhan melalui agama yang diciptakan-NYA. Serta manusia akan terus mawas diri dan merunduk pada keagunggan Yang Kuasa atas dunia ini, sebagai satu-satu dzat yang mengatur mekanisme dunia diluar kemampuan manusia yang hanya dapat meraba-raba maksud dari itu semua. Niscaya manusia akan berusaha untuk bertoleransi dalam beragama dengan bersama-sama untuk mencari kebenaran yang hakiki menurut Tuhan. Bukan klaim kebenaran atas nama manusia yang akhirnya menumbalkan agama sebagai tamengnya.
Referensi Bacaan :
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an : Kata Kita, Jakarta (Resensi)
Amartya Sen, Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas: Marjin Kiri, Jakarta
Samuel P Huntington. Benturan Antar Peradaban Dan Masa Depan Politik Dunia: Kalam, Jakarta
Comments
Post a Comment