Skip to main content

Persepsi, Sebuah Legitimasi Kebenaran atau Pembenaran?

Banyak orang yang memperbincangkan tentang yang namanya persepsi, dan sampai saat ini pemaknaan itu bisa menyentuh ke setiap lini dari aspek kehidupan kita. Bahkan perdebatan ini sampai saat ini saya masih belum menemukan maknanya. Mungkin saja benar ketika Nietzsche berbicara tentang jiwa yang memiliki kehendak yang bebas untuk berkuasa namun sebuah ketiadaan, tetapi raga sebagai bentuk yang ada namun terbatas oleh ruang dan waktu. Atau bisa saja salah dan benar. Itu terserah anda.

Saya memiliki sebuah cerita ketika saya berdialog dengan seseorang dan membicarakan tentang demokrasi, begitu sengit suasana saat itu. Berbagai argumentasi saya lontarkan dengan mencantumkan sebuah bentuk-bentuk teori yang saya pahami untuk mendukung argumentasi yang saya kemukakakan. Namun tidak untuk memapankan teori yang saya rujuk, itu hanya sebuah legitimasi akan konsep demokrasi yang pernah diteliti dengan baik oleh para ilmuwan. Karena memang saya tidak ingin terjebak pada sebuah teori tersebut, maka dari itu teori saya jadikan instrument pendukung saja pada saat saya berargumen. Tetapi di dalam pikiran saya masih mempertanyakan teori yang saya kemukakan. 

Waktu berjalan sangat cepat saat itu, sampai pada akhirnya saya terdiam dengan sebuah lontaran kata persepsi tentang demokrasi. Katanya : “ Demokrasi itu tergantung persepsi “, pada saat itu pula saya langsung mengunci rapat-rapat mulut saya. Banyak pertanyaan muncul saat kata persepsi itu terucap oleh kawan bicara saya, kalau persepsi itu sebuah nilai relatif untuk kita memahami sesuatu meski tidak berdasarkan metode ilmiah, rasionalitas, diakui, dll seperti yang diungkap dalam syarat sebuah kebenaran dalam logika. Maka konsep demokrasi sekelas Samuel Huntington yang dia teliti bertahun-tahun bisa runtuh begitu saja dengan kata persepsi dan memang seolah-olah itu menjadi sebuah kebenaran baru. Pada saat yang sama ketika mulut saya ingin berargumentasi untuk memdialogkan kembali, saya mengurungkan niat. 

Karena pada saat itu saya bertanya : “jika demokrasi itu tergantung persepsi?, berarti didalam pikiran dia sekarang itu adalah persepsi dia tentang demokrasi, jadi seilmiah dan rasional apapun saya berargumen maka akan terbantahlah sudah semua mungkin. Karena itu tidak sesuai dengan persepsi dia?. Namun saya tidak sampai pada sebuah kesimpulan karena sampai saat inipun saya masih mempertanyakan itu. Atau mungkin saya yang terlalu bodoh untuk memaknai itu?

Begitu kuatkah pemaknaan persepi sehingga bisa meruntuhkan sebuah ilmu pengetahuan yang nota bene sebuah proses pengkajian yang memakan waktu lama dengan dasar logika yang kuat dan proses rasionalisasi yang matang pula? Inikah anti metode itu? Dimana setiap orang bebas mempersepsikan sebuah ilmu pengetahuan menurut dirinya sendiri? Akankah memang di dunia ini hakekatnya tidak ada sebuah kebenaran yang mutlak, selain yang ada tetapi yang tak nampak yang menguasai alam semesta kita ini? Karena apabila kebenaran ilmu pengetahuan dunia itu multak, berarti siapa ilmu pengetahuan ini? Atau kita harus kembali kepada yang kita percaya sebagai yang tak nampak tetapi ada dan menguasai alam semsta ini tetapi kita terima dengan ilmu pengetahuan yang ada di dunia?

Ilmu pengetahuan beda dengan filsafat, karena ilmu pengetahuan itu benar apabila ada sebuah pengetahuan itu benar-benar teruji dengan matang melalui metode-metode penelitian yang dilakukan. Berbeda dengan filsafat dimana sebuah pembenaran bukan kebenaran karena bersifat determinasi  dan justru sekarang menjadi sebuah ideology. Ilmu Pengetahuan itu bersifat universal, hasilnya bisa diterima, ilmiah, rasional, dan bisa diuji kebenarannya. Itu yang membedakan sebuah pengetahuan dan filsafat.

Memang Ilmu Pengetahuan itu juga instrument yang bersifat relatif dan bisa diruntuhkan kapanpun. Tetapi tidak oleh sebuah pemaknaan manusia yang hanya sepersekian detik tanpa landasan yang jelas dan berdasarkan persepsi.  Tetapi kita berbicara pengetahuan, bukan sebuah perenungan filsafat. Kembali lagi, sayapun masih mempertanyakan hal ini. Karena mungkin terlalu bodohnya saya, atau mungkin karena kurang kerjaan saya menulis seperti ini? Benar atau salah itu tergantung anda memaknainya. Jadi ini saya, lalu anda?dan persepsi itu apa?

Kita berada dalam pusaran tata warna yang tak terbaca, dan akhirnya kita hanya mencabik-cabik ke arah udara lalu akhirnya kita melukai diri kita sendiri. (Reduksi dari Puisi W.S Rendra)
x

Comments

Popular posts from this blog

Tak Ada Beda, Karena Mencintai dan Mengimani Sama Sesaknya

Tulisan ini adalah kerinduanku atasmu. Sahabat lamaku, yang juga membesarkanku dengan penuh peluh, kasih dan cinta. Kita memang tidak banyak bicara, tetapi setiap apa yang kita bicarakan selalu lekat dalam ingatanku. Tentang cinta, tentang mati, tentang hidup, tentang kerja, tentang menghantam prosa langitan dan Tuhan. Aku belajar darimu tentang kerelaan. Sengaja tidak pergi ke gereja karena ada hati yang perlu dijaga. Seisi rumah kita memang tidak tahu, kau pernah menangis pilu dihadapanku. Hanya kita berdua saat itu. Saat itu pula kau mengizinkan aku untuk mengejar cita dan baktiku pada telapak yang bersurga. Dalam setiap doa, aku hanya berharap bahwa Tuhan menyampaikan isi hatiku kepadamu. Meskipun kita telah berbeda jalan dan kepercayaan. Cuma satu kepercayaan yang sama dari kita bahwa Internationale pasti di dunia. Apa bentuknya, kita hanya sama-sama tertawa, percaya saja !  Katamu, mencintai ibu adalah keputusan terbesar dalam hidup. Kau telah memenangkan hatinya, hingga...

Pindah Agama, Patah Hatiku Tetap Sama

Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi, tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari” Pengkotbah 1:9 Ayat tersebut sebagai penggambaran awal bahwa tulisan ini dibuat sebagai hal yang pernah ada dan dibicarakan. Tema yang bagi sebagaian orang telah usang untuk dibicarakan. Di tengah tuntutan bertahan hidup dalam mode produksi dan akumulasi primitif. Overproduksi yang dinanti-nanti tak kunjung hadir sebagai juru selamat kelas pekerja. Hingga milliaran kelas pekerja memilih terbuai dalam dogma. Karena hakikat bekerja bukan lagi perwujudan eksistensi manusia, melainkan hanya insting untuk bertahan hidup semata uang. Sebagai orang yang tumbuh dalam keluarga dengan berbedaan keyakinan selama puluhan tahun. Perdebatan tentang agama dan Tuhan merupakan makanan sehari-hari. Agama menjadi alat politik bagi kami untuk saling mengintimidasi atas nama surga dan neraka. Tuhan menjadi alat untuk meyakinkan  kami bahwa semua akan baik-baik saja, sekalipu...

Purwokerto, Beberapa Yang Tersisa Masih Punya Daya

Sudah satu bulan, tepatnya setelah aku memutuskan untuk kembali dari perantauan. Sekalipun hidupku diperantauan sangat singkat. Tetapi buatku lebih dari cukup mendapat pelajaran dari sana. Karenapun aku tidak membayangkan akan menghabiskan separuh hidupku di kota semacam Jakarta. Kota yang menurutku sangat mekanis dan teknis. Semua yang dikerjakan seolah-olah untuk membangun peradaban. Tetapi ku pikir hanya sebuah kota yang berkejar-kejaran dengan sibuknya ambisi setiap manusia agar tidak tertinggal dan tergilas roda ekonomi. Di sana aku melihat, bagaimana negara bekerja dengan sangat massif menancapkan kakinya bersama segelintir orang. Sisanya, aku hanya melihat orang yang bertahan hidup. Seperti dengan kerja berburu dan meramu pada masa lalu. Hari ini, mereka mengenal sebuah konsep kerja namun, dengan bentuk yang berbeda. Sisanya, aku bahkan tidak peduli. Kecuali gubug-gubug kumuh di tengah gedung pencakar langit. Kampung nelayan yang terbentuk dari timbunan cangkang kerang hijau...